Selasa, 29 April 2014

BUKU PENDIDIKAN AGAMA HINDU

BUKU PENDIDIKAN AGAMA HINDU




AGAMA HINDU

OLEH :
KELAS H
1.     Kadek Agus Arianto                  (1211031339)
2.     I Negah Artha Sedana                (1211031350)
3.     Ayu Widya Santhi                      (1311031306)
4.     Made Dwi Wisma Yanthi           (1311031309)
5.     Ni Luh Putu Eka Widiastuti     (1311031313)

JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2014






KATA PENGANTAR
OM  SWASTYASTU
Puji syukur kami penjatkan kehadapan Ida Shang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya kelompok kami dapat menyelesaikan penyusunan “buku  Pendidikan Agama Hindu” tingkat Sekolah Dasar.
Penulisan Buku ini adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Agama Hindu. Dalam Penulisan buku ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan buku ini.
 Kami menyadari, betapa beratnya menyusun sebuah buku yang memenuhi keinginan semua pihak. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi penyempurnaan buku ini pada edisi berikutnya. Semoga buku ini bermanfaat bagi peningkatan mutu pendidikan di bidang agama Hindu, khususnya di tingkat Sekolah Dasar.

       Om, Shanti, Shanti, Shanti, Om.
                            


                                                                                                Singaraja, 19 Maret 2014
                                                                                                Penyusun



DAFTAR ISI
KATA PENGANTA…………………..............  i
DAFTAR ISI ………………………….............. ii
PENDAHULUAN…………………….............. iii                                       iii                    
BAB I PANCA SRADHA…………………....... 1
A.  Pengertian Panca………………….…… 1  
B.  Pembagian Panca Sradha ……….......... 2
C.  Penjelasan Bagian Panca Sradha……... 4
1.    Brahman………………….………… 4
2.    Atman…………………….……….. 12
3.    Karman………………….………… 18
4.    Samsara…………………………… 28
5.    Moksa……………………………... 42
BAB II  CHADU SAKTI…………..………… 56
A.  Pengertian Chadu Sakti…………….... 56
B.  Bagian-Bagian Chadu Sakti…………. 56
C.  Pengertian Asta Sakti………………... 58
D.  Bagian-Bagian Asta Sakti..………….. 59

BAB III TRI MURTI……………………...... 63
A.  Pengertian Tti Murti………………... 63
B.  Bagian-Bagian Tri Murti…………… 64
C.  Penjelasan Masing-Masing Tri murti. 68

BAB IV PANCA YAMA BRATA
A.  Pengertian Panca Yama Brata……….. 82
B.  Bagian-Bagian Panca Yama Brata…... 82
1.    Ahiýsà………..……………………... 82
2.    Brahmacàri………………………..... 84
3.    Satya…..……………………………. 86
4.    Awyàwahàra……………………….. 86
5.    Asteya……………………………....  87

BAB V PANCA NYAMA BRATA………..... 89
A.  Pengertian Panca NYama Brata…….. 89
B.  Bagian-Bagian Panca Nyama Brata… 89
C.  Penjelasan Panca Nyama Brata……... 90
1. Akroda…………………………..... 90
2.      Guru Susrusa……………………... 93
3.      Sauca…………………………….... 94
4. Aharalagawa…………………….... 95
5. Apramada……………………….... 97

BAB VI YADNYA…………..……………….. 98
A.  TRI RNA…………….……………..... 98
1.    Pengerian Tri Rna………………... 98
2.    Bagian- Bagian Tri Rna………...... 98
3.    Hubungan Tri Rna dengan
Panca Yadnya………………….… 99
B.  Panca Yadanya…………………...... 104
1.    Pengertian Yadnya………..….…. 104
2.    Tujuan Yadnya…………...……... 104
3.    Fungsi Makna Yadnya................. 107
4.    Bagian-Bagian Yadnya…………. 110


A.   Pendahuluan.

            Dalam buku  Upadesa agama Hindu dijelaskan, kata agama sebenarnya dari bahasa sansekerta yang terdiri dari kata, A dan Gam. A berarti tidak dan Gam berarti pergi. Hindu merupakan salah satu agama yang ada di dunia yang memiliki latar belakang sejarah yang sangat unik. Agama Hindu merupakan agama yang tertua di dunia. Dari pengertian tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa pendidikan agama Hindu adalah suatu pendidikan melalui ajaran agama hindu dengan tujuan untuk meningkatkan Sradha dan Bakti anak terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, meningkatkan kecerdasan, ketrampilan dalam menjalankan ajaran Agama, mempertinggi budi perkerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air.
Dalam pengamalan ajaran agamanya umat Hindu melandasi dirinya dengan Panca Sraddha, Tri Murti,Cadhu Sakti, Panca Yama Brata, Panca nyama Brata, Yadnya dan masih ada yang menlandasi dalam agama Hindu. Upaya ini wajib hukumnya bagi seseorang yang menyatakan dirinya sebagai penganut Hindu. Pada uraian ini akan dijelaskan tentang sraddha yang ke lima, yang sering disebut percaya dengan adanya Moksa. Apakah Moksa itu? Bersatunya Atman dengan Brahman tercapailah keadaan Sat cit ananda, yaitu kebahagiaan yang abadi. Kondisi seperti inilah yang disebut dengan nama moksa. Moksa merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari Panca Sraddha. Umat Hindu meyakini bahwa moksa merupakan pokok keimanan. Bagi umat Hindu kata moksa sering disamakan artinya dengan kata mukti atau kelepasan. Moksa merupakan tujuan yang tertinggi bagi umat Hindu. Dengan mempedomani diri dan mengamalkan cinta kasih serta ketidak terikatan secara berkesinambungan seseorang dapat mencapai moksa. Kata moksa mudah diucapkan namun sulit dapat diwujudkan dalam hidup dan kehidupan ini. Betapapun sulitnya hal itu dapat kita wujudkan, bila diupayakan dengan niat suci, sungguh-sungguh dan berlandaskan kitab suci. Dengan demikian sesulit apapun sesuatu yang ingin kita capai tentu dapat diwujudkan dengan sempurna.
Moksa adalah salah satu sraddha dalam agama Hindu. Hal ini merupakan tujuan hidup tertinggi dari umat Hindu. Kebahagiaan yang sejati ini baru akan dapat tercapai oleh seseorang bila ia telah dapat menyatukan jiwanya dengan Tuhan. Penyatuan dengan Tuhan itu baru akan didapat bila ia telah melepaskan semua bentuk ikatan keduniawian pada dirinya.  Keterikatan yang melekat pada diri kita itulah yang dinamakan maya atau kepalsuan. Maya dalam agama Hindu juga dinamakan sakti, prakrti, kekuatan dan pradhana. Maya selalu mengalami perubahan yang pada hakekatnya tidak ada. Keberadaannya semata-mata disebabkan oleh adanya hubungan indriya dengan obyek duniawi ini.
Menurut arti katanya, Trimūrti adalah “Tiga Badan”, dan maksudnya adalah tiga kekuatan Brahman (Sang Hyang Widhi, sebutan Tuhan dalam agama Hindu) dalam menciptakan, memelihara, melebur alam beserta isinya.
Cadhu Sakti artinya empat kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi dalam mengembangkan ciptaan-Nya. Cadhu sakti sering juga disebut Catur Sakti. Kata Cadhu Sakti  berasal dari kata: Cadhu artinya tempat, dan Sakti artinya kemahakuasaan, kesaktian, kekuatan. Disamping perwujudan dan kesaktian yang tersebut Tri Murti dan Trisakti, Sang Hyang Widhi juga mempunyai sebutan Cadhu Sakti atau 4 (empat) kemahakuasaan Brahman/Ida SangHyang Widi Wasa.
Pañca Yama Brata adalah lima macam pengendalian diri tingkat pertama untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian jasmani. Suúila harus dilakukan paling awal, karena setelah terbebas dari perbuatan-perbuatan yang kotor akan mampu membuat pikiran dan hati menjadi suci.
Pengertian Panca Nyama Brata mempunyai arti lima macam pengendalian diri dalam tingkat mental, untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian bathin. Panca Nyama Brata adalah untuk mengendalikan semua akibat – akibat buruk yang ditimbulkan oleh mental dan pikiran.
Tri Rna berasal dari kata “Tri” dan “Rna”. Tri artinya tiga dan Rna artinya utang. Jadi, Tri Rna artinya, tiga utang yang dimiliki oleh manusia dan harus dibayar dengan Yadnya.
    Panca Yadnya adalah lima jenis karya suci yang diselenggarakan oleh umat Hindu di dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup. Adapun Panca Yadnya atau Panca Maha Yadnya tersebut terdiri dari: Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya, Rsi Yadnya, dan Bhuta Yadnya.


 
BAB I
PANCA SRADHA
1.    Panca Sradha
A.  Pengertian Panca Sradha
Agama Hindu disebut pula dengan Hindu Dharma, Vaidika Dharma ( Pengetahuan Kebenaran) atau Sanatana Dharma ( Kebenaran Abadi ). Untuk pertama kalinya Agama Hindu berkembang di sekitar Lembah Sungai Sindhu di India. Agama Hindu adalah agama yang diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi Wasa, yang diturunkan ke dunia melalui Dewa Brahmasebagai Dewa Pencipta kepada para Maha Resi untuk diteruskan kepada seluruh umat manusia di dunia.
Ada tiga kerangka dasar yang membentuk ajaran agama Hindu,  ketiga kerangka tersebut sering juga disebut tiga aspek agama Hindu. Ketiga kerangka dasar itu antara lain :
1)      Tattwa, yaitu pengetahuan tentang filsafat agama
2)       Susila, yaitu pengetahuan tentang sopan santun, tata krama.
3)      Upacara, yaitu pengetahuan tentang yajna, upacara agama.
Di dalam ajaran Tattwa di diajarkan tentang “ Sradha “ atau kepercayaan. Sradha dalam agama Hindu jumlahnya ada lima yang disebut “ Panca Sradha “. Jadi Panca Sradha adalah Lima kepercayaan yang dimiliki oleh umat Hindu yang di wahyukan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa diturunkan ke dunia melalui Dewa Brahma, kepada para Maha Resi, untuk disebarkan kepada umat Hindu di dunia.

B.  Bagian- Bagian Panca Sradha
a.    Panca Sradha terdiri dari :
1)   Brahman      : artinya percaya akan adanya Sang Hyang Widhi.
2)   Atman         : artinya percaya akan adanya Sang Hyang Atman.
3)   Karman        : artinya percaya akan adanya hukum karma phala.
4)   Samsara       : artinya percaya akan adanya kelahiran kembali.
5)   Moksa          : artinya percaya akan adanya kebahagiaan rohani.
Untuk menciptakan kehidupan yang damai seseorang wajib memiliki sradha (kepercayaan) yang mantap. Seseorang yang sradhanya tidak mantap hidupnya menjadi ragu, canggung, dan tidak tenang dan juga akan terombang ambing.
Cobalah perhatikan kegelisahan dan ketakutan seorang anak di arena sirkus. Anak kecil menjerit ketakutan ketika disuruh bersalaman dengan seekor harimau, walaupun di dampingi oleh seorang Pawang. Tidak lain dan tidak bukan karena anak kecil itu belum mempunyai kepercayaan penuh bahwa harimau itu akan jinak dan telah terlatih oleh pawangnya. Jadi kesimpulannya kepercayaan yang mantap dapat menciptakan ketenangan dan apabial kepercayaan tersebut tidak ada maka semuanya akan terasa menakutkan.




C.  PENJELASAN MASING-MASING BAHAN PANCA SRADHA

1)      Brahman (Sang Hyang Widhi Wasa )
Ada beberapa kata yang berkaitan dengan Brahman itu yaitu akar brh-. Ada dua kata yang dieja secara sama, tetapi dengan aksen yang berbeda. Kedua kata itu adalah brhman danbrahmn (nominatif tunggal dari brahma. Brhman, jenis netral, mempunyai arti “ucapan suci.”Brahmn, jenis maskulin, mempunyai arti pertama-tama “dia yang memperoleh kuasa dari ucapan atau sabda suci,” dan yang demikian itu bisa berupa dewa atau pun manusia. Sang brahmndewani mengkristal dalam sosok tunggal yang mempergunakan nama tersebut. Para Orientalis lebih suka menyebutnya Brahma (dengan menggunakan nominatif tunggal dan bukan akar kata tersebut untuk menghindari kesalahpahaman). Dalam sistem di kemudian hari Brahma akan dikenal sebagai dewa pencipt                                                 parexcellence. Namun brahmn dapat juga dikenakan untuk manusia – seorang Brahmin atau Brahman – tetap dalam arti ini kata tersebut pelan-pelan diganti oleh kata Brahmana, yakni seorang anggota dari kelas tertinggi, kelas para imam. Kata Brahmanjuga merupakan nama untuk teks-teks ibadat kurban dalam induk kitab Veda. Penjelasan filologis atas kata Brahman kiranya relevan di sini. Penjelasan tersebut tidak saja karena hal itu boleh diharapkan untuk menjernihkan pikiran kita, tetapi juga karena hal itu memberikan gambaran tentang cara-cara bagaimana, bukan hanya mungkin, malahan logis, kaum Brahmana dari periode di kemudian hari harus dianggap sebagai dewa-dewa di antara manusia. Pada mulanya mereka hanyalah imam-imam biasa yang diberi kepercayaan untuk membacakan kitab Veda, sabda-sabda suci. Setelah brhman menjadi mapan sebagai dasar yang tidak berubah dan abadi dari semesta alam, arti penting kaum Brahmana secara harafiah mendapatkan keabadian pula. Dari “ucapan suci”, brhman memperoleh arti yang lebih umum “kekuatan suci” sebagaimana adanya: “yang mengenal brhman dalam diri manusia, mengenal tuhan yang mahatinggi”. Brhman dalam manusia dengan demikian sama dengan brhman dalam Tuhan. Yang sangat berarti dalam hal perkembangan gagasan mengenai brhman adalah madah dari Atharva-Veda, 10.2: Brahman bekerja dalam dunia melalui Trimurti: Brahma, Shiva dan Vishnu. Ketiganya adalah prinsip atau potensi yang berusaha saling  memisahkan. Brahma, “Tuhan yang riel”, merupakan Tuhan masa lampau, Tuhan yang hilang dan lupa tanpa gambar-gambar dan kuil-kuil. Śiva mendominasi kesadaran India. Ia adalah prinsip yang merusak, tetapi bukan dalam suatu pengertian yang jahat: Ia membinasakan Brahma, yang adalah kekuatan dari prinsip nyata (real) yang menahan manusia dalam perbudakan. Visnu tampaknya memperbaiki kesatuan yang hilang dan rusak tersebut. Visnu meniadakan Śiva dan fungsi-fungsi sebagai prinsip yang pada dasarnya sektarian dan memecah belah. Percaya terhadap Tuhan, mempunyai pengertian yakin dan iman terhadap Tuhan itu sendiri. Yakin dan iman ini merupakan pengakuan atas dasar keyakinan bahwa sesungguhnya Tuhan itu ada, Maha Kuasa, Maha Esa dan Maha segala-galanya. Tuhan Yang Maha Kuasa, yang disebut juga Hyang Widhi (Brahman), adalah ia yang kuasa atas segala yang ada ini. Tidak ada apapun yang luput dari Kuasa-Nya. Ia sebagai pencipta, sebagai pemelihara dan Pelebur alam semesta dengan segala isinya. Tuhan adalah sumber dan awal serta akhir dan pertengahan dari segala yang ada. Didalam Weda (Bhagavad Gita), Tuhan (Hyang Widhi) bersabda mengenai hal ini, sebagai berikut: Tuhan (Hyang Widhi), yang bersifat Maha Ada, juga berada disetiap mahluk hidup, didalam maupun doluar dunia (imanen dan transenden). Tuhan (Hyang Widhi) meresap disegala tempat dan ada dimana-mana (Wyapi Wyapaka), serta tidak berubah dan kekalabadi (Nirwikara). Di dalam Upanisad (k.U. 1,2) disebutkan bahwa Hyang Widhi adalah “telinga dari semua telinga, pikiran dari segala pikiran, ucapan dari segala ucapan, nafas dari segala nafas dan mata dari segala mata”, namun Hyang Widhi itu bersifat gaib (maha suksma) dan abstrak tetapi ada. Walaupun amat gaib, tetapi Tuhan hadir dimana-mana. Beliau bersifat wyapi-wyapaka, meresapi segalanya. Tiada suatu tempatpun yang Beliau tiada tempati. Beliauada disini dan berada disana Tuhan memenuhi jagat raya ini. Kendatipun Tuhan itu selalu hadir dan meresap di segala tempat, tetapi sukar dapat dilihat oleh mata biasa. Indra kita hanya dapat menangkap apa yang dilihat, didengar, dikecap dan dirasakan. Kemampuannya terbatas, sedangkan Tuhan (Hyang Widhi)adalah Maha Sempurna dan tak terbatas. Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa, yang tak terjangkau oleh pikiran, yang gaib dipanggil dengan nama sesuai dengan jangkauan pikiran, namun ia hanya satu, Tunggal adanya. Karena Tuhan tidak terjangkau oleh pikiran, maka orang membayangkan bermacam-macam sesuai dengan kemampuannya. Tuhan yang Tunggal (Esa) itu dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan fungsinya. Ia dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Ciwa sebagai pelebur/pemralina. Banyak lagi panggilannya yang lain. Ia maha tahu, berada dimana-mana. Karena itu tak ada apapun yang dapat kita sembunyikan dihadapan-Nya. Orang-orang menyembah-Nya dengan bermacam-macam cara pada tempat yang berbeda-beda. Kepada-Nyalah orang menyerahkan diri, mohon perlindungan dan petunjuk-Nya agar ia menemukan jalan terang dalam mengarungi hidup ini. Brahman ( Percaya akan adanya Hyang Widhi ), Hyang Widhi adalah yang menakdirkan, maha kuasa, maha kekal, tanpa awal dan akhir dan pencipta semua yang ada yang disebut “ Wyapi Wyapaka Nirwikara “ . Kita percaya bahwa beliau ada, meresap di semua tempat dan mengatasi semuanya yang disebut Wyapaka. Di dalam kitab Brahman Sutra dinyatakan “ Jan Ma Dhyasya Yatah “ artinya Hyang Widhi adalah asal mula dari semua yang ada di alam semesta ini. Dari pengertian tersebut bahwa Hyang Widhi adalah asal dari segala yang ada. Kata ini diartikan semua ciptaan, yaitu alam semesta beserta isinya termasuk Dewa – dewa dan lain – lainnya berasal dan ada di dalam Hyang Widhi. Tidak ada sesuatu di luar diri beliau. Penciptaan pemeliharaan dan peleburan adalah kekuasaan beliau. Agama Hindu mengajarkan bahwa Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa tidak ada duanya. Hal ini dinyatakan dalam beberapa kitab Weda antara lain :
a)      Dalam Chandogya Upanishad dinyatakan : “ Om tat Sat Ekam Ewa Adwityam Brahman “ artinya Hyang Widhi hanya satu tak ada duanya dan maha sempurna.
b)      Dalam mantram Tri Sandhya tersebut kata – kata :“ Eko Narayanad na Dwityo Sti Kscit “ artinya hanya satu Hyang Widhi dipanggil Narayana, sama sekali tidak ada duanya.
c)      Dalam Kitab Suci Reg Weda disebutkan “  “ Om Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti “ artinya Hyang Widhi itu hanya satu, tetapi para arif bijaksana menyebut dengan berbagai nama.
d)     Dalam kekawin Sutasoma dinyatakan : Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa artinya berbeda – beda tetapi satu, tak ada Hyang Widhi yang ke dua.
Dengan pernyataan – pernyataan di atas sangat jelas, umat Hindu bukan menganutPolitheisme, melainkan umat Hindu menganut Monotheisme yaitu mengakui dan percaya dengan adanya satu Hyang Widhi atau Tuhan Yang maha Esa. Hindu sangat lengkap, dan fleksibel. Tuhan dalam Hindu di insafi dalam 3 aspek utama, yaitu Brahman ( Yang tidak terpikirkan ), Paramaatma ( Berada dimana-mana dan meresapi segalanya ), dan Bhagavan ( berwujud ).


2)      Atman (Sang Hyang Atma)
Atman ( Percaya akan adanya Sang Hyang Atma ). Di dalam weda Parikrama disebutkan : “Eko Devah sarva bhutesu, gudhah sarva vyapim sarva bhutaratma Karma, dhyaksah sarva bhutadiwasah.Saksi ceto Kevalonirgnasca”  yang artinya Satu zat yang bersembunyi dalam setiap makhluk yang mengisi semuanya yang merupakan jiwa bathin semua makhluk raja dari semua perbuatan yang tinggal dalam semua makhluk saksi yang hanya terdapat dalam pikiran saya. Jadi atma adalah percikan kecil dari Paramaatma (tuhan) yang berada disetiap makhluk hidup. Atma berasal dari Hyang Widhi yang memberikan hidup kepada semua makhluk. Atma atau Sang Hyang Atma disebut pula Sang Hyang Urip yang berarti Sang Hyang yang memberikan nyawa. Manusia, hewan dan tumbuhan adalah mahluk hidup yang terjadi dari dua unsur yaitu badan dan atma. Badan adalah kebendaan yang terbentuk dari lima unsur kasar yaitu Panca Maha Butha. Di dalam badan melekat indria yang jumlahnya sepuluh ( Dasa Indria ). Mengenai keberadaan atma itu, dijelaskan dalam kitab suci sebagai berikut :
a)      Sariram brahma pravisat sarire-adhi prajapatih.(atharwa weda XI. 8.30 ). Sang hyang Widhi Wasa memasuki tubuh manusia dan dia menjadi raja tubuh itu.
b)      Iyam kalyani ajara martyasyaamerta grahe (atharwa weda X. 8. 26). Dewa yang kekal dan bertuah itu bertempat tinggal didalam tubuh manusia yang fana.
c)      Na jayate mriyate va kadachin ,shavitava na yambhutva va na bhuyah,ajo nityah sasvato yam purano,na hayate hanyamane  sarire (bhagawadgita II.20.23). Ia tidak pernah lahir pun juga tidak pernaah mati kapanpun, pun juga tidak pernah muncul dan lagi tidak pernah menghilang. Ia adalah tidak mengenal kelahiran, kekal, abadi dan selalu ada. Ia tidak dapat di bunuh bila badan di bunuh.
d)       Aham atma gudakesa,sarvabhutasyasthitah aham adis cha madhyam cha, butanam anta eva cha. (bhagawadgita X. 20 ) Oh arjuna, aku adalah atman yang menetap dalam hati semua mahluk, aku adalah permulaan, pertengahan, dan akhir dari semua mahluk.
Atma adalah yang menghidupkan mahluk itu sendiri, sering juga disebut badan halus Atma yang menghidupkan badan manusia disebut “ Jiwatman “ atau “ Swatman “ .Badan dengan atma ini bagaikan hubungan Kusir dengan Kereta. Kusir adalah atma, dan kereta adalah badan. Indria yang ada pada badan kita tidak akan ada fungsinya apabila tidak ada atma. Misalnya, mata tidak dapat digunakan untuk pengelihatan jika tidak dijiwai oleh atma. Telinga tidak dapat digunakan untuk pendengaran jika tidak dijiwai oleh atma. Oleh karena itu Atma merupakan bagian dari tuhan yang sifatnya sangat gaib (Parama Sukma), tidak pernah mengalami kelahiran dan kematian (Najayate naha niyamane) Atma yang berasal dari Hyang Widhi mempunyai sifat “ Antarjyotih “ ( bersinar tidak ada yang menyinari, tanpa awal dan tanpa akhir, dan sempurna ). Dalam kitab Bhagawandgita disebut sifat – sifat atma sebagai berikut :
1)      Achodyhya  artinya tak terlukai oleh senjata
2)      Adahya  artinya tak terbakar oleh api
3)      Akledya  artinya tak terkeringkan oleh angin
4)      Acesyah  artinya tak terbasah oleh air
5)      Nitya  artinya abadi, kekal
6)      Sarwagatah  artinya ada dimana – mana
7)      Sthanu  artinya tak berpindah – pindah
8)      Acala  artinya tak bergerak
9)      Sanatana  artinya selalu sama
10)  Adyakta  artinya tak terlahirkan
11)  Achintya  artinya tak terpikirkan
12)  Awikara  artinya tak berjenis kelamin
Sehubungan dengan hal itu perhatikan sloka-sloka berikut mengenai atman yaitu Bhagavad-Gita II sloka 23, 24, dan 25 menyebutkan:




Sloka
Artinya:
nai'nam chhindanti sastrani na chai'nam kledayanty apona soshayati marutah
Senjata tidak dapat melukai Dia
dan api tidak bisa membakar- Nya
angin tidak dapat mengeringkan Dia
dan air tidak bisa membasahi- Nya
Achedyo 'yam adahyo 'yam akledya 'soshya eva cha nityah sarwagatah sthanur achalo 'yam sanatanah
Dia tidak dapat dilukai, dibakar
juga tidak dikeringkan dan dibasahi
Dia adalah abadi, tiada berubah
tiada bergerak, tetap selama- lamanya.
Awyakto 'yam achintyo 'yam Awikaryo 'yam uchyate tasmad ewam widitasi 'nam
na 'nusochitum arhasi.
Dia dikatakan tidak termanifestasikan
tidak dapat dipikirkan, tidak berubah- ubah
dan mengetahui halnya demikian
engkau hendaknya jangan berduka.

Jelaslah atma itu sifatnya sempurna. Tetapi pertemuan antara atma dengan badan yang kemudian menimbulkan ciptaan menyebabkan atma dalam keadaan “ Awidhya “. Awidhya artinya gelap lupa kepada kesadaran . Awidhya muncul karena pengaruh unsurPanca Maha Butha yang mempunyai sifat duniawi. Sehingga dalam hidup ini atma dalam diri manusia di dalam keadaan awidhya. Dalam keadaan seperti ini kita hidup kedunia bertujuan untuk menghilangkan awidhya untuk meraih kesadaran yang sejati dengan cara melaksanakan Subha Karma yang artinya perbuatan baik. Menyadari sifat atma yang serba sempurna dan penuh kesucian menimbulkan usaha untuk menghilangkan pengaruh awidhya tadi. Karena apabila manusia meninggal kelak hanya badan yang rusak, sedangkan atmanya tetap ada kembali akan mengalami kelahiran berulang dengan membawa “ Karma Wasana “ yang artinya bekas hasil perbuatan . Oleh karena itu, manusia lahir kedunia harus berbuat baik atas dasar pengabdian untuk membebaskan Sang Hyang Atma dari ikatan duniawi. Sesungguhnya jika tidak ada pengaruh duniawi Hyang Widhi dan Atma itu adalah tunggal adanya ( Brahman Atman Aikyam ).
3)      Karman (Hukum Karma Phala)
Kata Karma berasal dari bahasa Sanskerta yaitu dari akar kata Kr, yang artinya berbuat atu bekerja. Perbuatan tersebut ada yang baik dan ada yang buruk. Perbuatan baik disebut Subha Karma dan yang buruk Asubha Karma. Dan semuanya itu disebut Karma. Sumber karma ada 3 yaitu Manah atau pikiran, Wacika atau perkataan, Kayika atau perbuataan. Dalam kitab Slokantara dijelaskan “Karma Phala Ngaran Ika Phalaning Gawe Hala Hayu” artinya karma phala itu adalah akibat(phala) dari baik dan buruk suatu perbuatan. Adapun sifat-sifat dari hukum karma phala yaitu:
a)      Bersifat pasti dan tak terbatalkan
b)       Bersifat adil sesuai dengan karma
c)       Bersifat universal
Ø  Adapun manfaat sebagai adalah sebagai berikut :
a)      memotifasi seseorang untuk selalu berbuat baik
b)      memotifasi seseorang untuk selalu bersikap positif dan dinamis serta tidak mudahPutus asa
c)      memotivasi seseorang untuk selalu bekerja tanpa pamrih
Karma ialah segala perbuatan dan kegiatan yang kita lakukan tanpa kecuali, baik yang secara sadar maupun yang kita laksanakan secara tidak sadar. Bentuk-bentuk karma sesuai dengan sumbernya ada tiga macam yaitu:
1.      Karma dalam bentuk pikiran
2.      Karma dalam bentuk ucapan
3.      Karma dalam bentuk perbuatan atau tingkah laku
Jika begitu, dapat diungkapkan bahwa yang dimaksud dengan Karma ialah segala kegiatan dalam bentuk pikiran, ucapan dan perbuatan baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Seperti halnya petani yang menanam jagung atau singkong, pasti dia akan memetik jagung atau singkong, karena kelak jagung itu pasti akan berbuah, dan kelak singkong itu pasti akan berumbi dan si petanipun akan mendapatkan hasil dari apa yang ia tanam. Begitu juga halnya dengan karma perbuatan yang dilakukan oleh manusia pasti akan menimbulkan hasil buah atau akibat. Hasil dari perbuatan itulah yang disebut Karma Phala. Kata  phala berarti buah atau hasil, dan yang akan menerima Karma Phala atau buah karma itu adalah orang yang berbuat atau yang memiliki karma itu, sebab ia sendiri yang melakukan karma itu. Jika ia berbuat karma yang baik, maka ia akan memperoleh hasil yang baik pula, dan sebaliknya jika ia melakukan karma yang buruk maka hasilnya akan buruk pula. Keadaan atau kejadian seperti itulah yang disebut Hukum Karma. Hukum Karma adalah Hukum alam yang menjelaskan bahwa segala perbuatan akan menimbulkan hasil, perbuatan baik akan menimbulkan kebaikan dan perbuatan jahat akan menimbulkan kejahatan (penderitaan). Hal itu sesuai dengan hukum sebab akibat yang menyatakan bahwa setiap sebab akan menimbulkan akibat. Maksudnya segala sebab yang berupa perbuatan akan membawa akibat  sebagai hasil perbuatan itu, karena kata perbuatan sama dengan “karma” maka dapat kita katakan sebagai berikut: segala karma atau (perbuatan) akan mengakibatkan Karma Phala (hasil/buah perbuatan). Pengaruh hukum ini pulalah yang menentukan corak serta nilai dari pada watak manusia. Hal ini menimbulkan adanya bermacam-macam ragam watak manusia di dunia ini. Terlebih-lebih hukuman kepada roh yang selalu melakukan dosa semasa penelmaannya, maka derajatnya akan semakin bertambah merosot. Hal ini disebutkan dalam Weda sebagai berikut:
Ø  Dewanam narakam janturjantunam narakam pacuh,
Ø  Pucunam narakam nrgo mrganam narakam khagah,
Ø  Paksinam narakam vyalo vyanam narakam damstri,
Ø  Damstrinam narakam visi visinam naramarane
Dewa neraka (menjelma) menjadi manusia. Manusia neraka (menjelma) menjadi ternak. Ternak menjadi binatang buas, binatang buas neraka menjadi burung, burung neraka menjadi ular, dan ular neraka menjadi taring. (serta taring) yang jahat menjadi bisa (yakni) bisa yang dapat membahayakan manusia. Setiap
perbuatan yang kita lakukan di dunia ini baik atau buruk akan memberikan hasil. Tidak ada perbuatan sekecil apapun yang luput dari hasil atau pahala, langsung maupun tidak langsung pahala itu pasti akan datang. Kita percaya bahwa perbuatan yang baik atau Subha Karma membawa hasil yang menyenangkan atau baik. Sebaliknya perbuatan yang buruk atau Asubha Karma akan membawa hasil yang duka atau tidak baik.
            Perbuatan – perbuatan buruk atau Asubha Karma menyebabkan Atma jatuh ke Neraka, dimana ia mengalami segala macam siksaan. Bila hasil perbuatan jahat itu sudah habis terderita, maka ia akan menjelma kembali ke dunia sebagai binatang atau manusia sengsara ( Neraka Syuta ). Namun, bila perbuatan – perbuatan yang dilakukan baik maka berbagai kebahagiaan hidup akan dinikmati di sorga. Dan bila hasil dari perbuatan – perbuatan baik itu sudah habis dinikmati, kelak menjelma kembali ke dunia sebagai orang yang bahagia dengan mudah ia mendapatkan pengetahuan yang utama (Surga Syuta). Dalam lontar Atmaprangsangsa Agama dinyatakan bermacam-macam tempat yang disediakan oleh Sang Hyang Yamadipati untuk menghukum -attnd yang mendapat neraka,yaitu sebagai berikut :
1)      Kawah Tamra Gohmukha (Kawah Weci)
Atma yang pada kehidupannya selalu berbuat jahat (jenek ring pangan kinum), sampaimerugikan orang lain maka atma itu akan dibuang ke dalam kawah Tamra Gohmukha.
2)      Batu Macepak
Atma yang penuh dengan dosa-dosa akibat perbuatan mulutnya yang tidak baik makadia dihukum di batu ini.
3)      Tihing Petung dengan di bawahnya jurang Tempat hukuman bagi atma yang penuh dosa karena melaksanakan black magic (ilmuhitam)
4)      Titi Ugal-Agil
Tempat hukuman bagi atma yang pada waktu hidupnya suka memfitnah (ngerajapisurta) dan mengada-ada (berbohong).
5)      Kayu Curiga
Tempat menghukum atma yang penuh dosa karena bermain cinta dengan bukan istrinyasendiri.
6)      Tegal penangsaran
Disediakan bagi atma yang penuh dosa karena perbuatannya selalu membuat orang lainsengsara/ panas hati Jika dilihat dari sudut waktu, Karma phala dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
a)      Sancita Karma Phala
Sancita Karma Phala adalah hasil dari perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita sekarang. Bila karma kita pada kehidupan yang terdahulu baik, maka kehidupan kita sekarang akan baik pula ( senang, sejahtera, bahagia ). Sebaliknya bila perbuatan kita terdahulu buruk maka kehidupan kita yang sekarang inipun akan buruk ( selalu menderita, susah, dan sengsara ). Atau sering disebut Karma Phala Dahulu-Sekarang.
b)      Prarabda Karma Phala
Prarabda Karma Phala adalah hasil dari perbuatan kita pada kehidupan sekarang ini tanpa ada sisanya, sewaktu masih hidup telah dapat memetik hasilnya, atas karma yang dibuat sekarang. Sekarang menanam kebijaksanaan dan kebajikan pada orang lain dan seketika itu atau beberapa waktu kemudian dalam hidupnya akan menerima pahala, berupa kebahagiaan. Sebaliknya sekarang berbuat dosa, maka dalam hidup ini dirasakan dan diterima hasilnya berupa penderitaan akibat dari dosa itu. Prarabda karma phala dapat diartikan sebagai karma phala cepat. Atau serng disubut Karma Phala Sekarang-sekarang.
c)      Kriyamana Karma Phala
Kriyamana Karma Phala adalah pahala dari perbuatan yang tidak dapat dinikmati langsung pada kehidupan saat berbuat. Tetapi, akibat dari perbuatan pada kehidupan sekarang akan dan di terima pada kehidupan yang akan datang, setelah orangnya mengalami proses kematian serta pahalanya pada kelahiran berikutnya. Apabila karma pada kehidupan yang sekarang baik maka pahala pada kehidupan berikutnya adalah hidup bahagia, dan apabila karma pada kehidupan sekarang buruk maka pahala yang kelak dikehidupan mendatang diterima berupa kesengsaraan. Atau sering disebut dengan Karma Phala Sekarang – akan datang.
Tegasnya cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala pahala dari perbuatan itu pasti diterima karena sudah merupakan hukum. Kita tidak dapat menghindari hasil perbuatan kita itu baik atau buruk. Maka kita selaku manusia yang dilengkapi dengan bekal kemampuan berpikir, patutlah sadar bahwa penderitaan dapat diatasi dengan memilih perbuatan baik. Manusia dapat berbuat atau menolong dirinya dari keadaan sengsara dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.

4)      Punarbawa (Samsara)
Kata Punarbhawa berasal dari bahasa sanskerta, terdiri dari dua kata yaitu: katapunar yang berarti lagi, kembali dan bhava yang berati menjelma. Jadi, Punarbhawa berarti kelahiran yang berulang-ulang yang disebut juga dengan Penitisan atau Samsara.Di dalam pustaka suci weda dikatakan bahwa penjelmaan atma (roh) yang berulang ulang (samsriti) ke dunia ini disebut samsara. Punarbhawa atau samsara ini terjadi diakibatkan oleh adanya Hukum Karma, dimana karma yang jelek menyebabkan atma (roh) menjelma kembali untuk memperbaiki perbuatannya yang tidak baik, atau karena atma itu masih dipengaruhi oleh Karma Wesana (bekas-bekas atau sisa-sisa perbuatan)atau kenikmatan duniawi sehingga tertarik untuk lahir ke dunia kembali. Kelahiran ini adalah Samsara (sengsara) sebagai hukuman yang diakibatkan oleh perbuatan atau karma dikelahiran yang terdahulu. . Jangka pembebasan diri dari samsara, tergantung pada perbuatan baik kita yang lampau ( atita ) yang akan datang ( nagata ) dan sekarang ( wartamana ). Punarbhawa berarti kelahiran yang berulang-ulang, yang disebut juga penitisan kembali (reinkarnasi) atau Samsara.  Di dalam Weda disebutkan bahwa "Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau didunia yang lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa akibat suka dan duka. Samsara atau Punarbhawa ini terjadi oleh karena Jiwatman masih dipengaruhi oleh kenikmatan, dan kematian akan diikuti oleh kelahiran". Demikian pula disebutkan:
Sribhagavan uvacha, bahuni me vyatitani, janmani tava cha rjuna, rani aham veda sarvani, na tvam paramtapa (Bh. G. IV.5) Sri Bhagawan (tuhan) bersabda, banyak kelahiran-Ku di masa lalu, demikian pula kelahiranmu arjuna semuanya ini Aku tahu, tetapi engkau sendiri tidak,. Parantapa.
Atman yang masih diselubungi oleh suksma sarira dan masih terikat oleh adanya kenikmatan duniawi, menyebabkan Atman itu awidya, sehingga Ia belum bisa kembali bersatu dengan sumbernya yaitu Brahman (Hyang Widhi). Hal ini menyebabkan atman itu selalu mengalami kelahiran secara berulang-ulang. Segala bentuk prilaku atau perbuatan yang dilakukan pada masa kehidupan yang lampau menyebabkan adanya bekas (wasana) dalam jiwatman. Dan wasana (bekas-bekas perbuatan) ini ada bermacam-macam. Jika wasana itu hanya bekas-bekas keduniawian, maka jiwatman akan lebih cenderung dan gampang ditarik oleh hal-hal keduniawian sehingga atman itu lahir kembali. Karmabhumiriya brahman,
phlabhumirasau mataiha yat kurate karma tat, paratrobhujyate. (S.S.7)
Sebab sebagai manusia sekarang ini adalah akibat baik dan buruknya karma itu juga akhirnya dinikmatilah karma phala itu. Artinya baik buruk perbuatan itu sekarang akhirnya terbukti hasilnya. Selesai menikmatinya, menjelmalah kembali ia, mengikuti sifat karma phala. Wasana berarti sangskara, sisa-sisa yang ada dari bau sesuatu yang tinggal bekas-bekasnya saja yang diikuti hukuman yaitu jatuh dari tingkatan sorga maupun dari kawah-kawah neraka, adapun perbuatan baik ataupun buruk yang dilakukan di akhirat, tidaklah ia berakibat sesuatu apapun, oleh karena yang sangat menentukan adalah perbuatan-perbuatan baik atau buruk yang dilakukan sekarang juga. Karma dan Punarbhawa ini merupakan suatu proses yang terjalin erat satu sama lain. Secara singkat dapat dikatakan bahwa karma adalah perbuatan yang meliputi segala gerak, baik pikiran, perkataan maupun tingkah laku. Sedangkan punarbhawa adalah kesimpulan dari semua karma itu yang terwujud dalam penjelmaan tersebut. Setiap karma yang dilakukan atas dorongan acubha karma akan menimbulkan dosa dan Atman akan mengalami neraka serta dalam Punarbhawa yang akan datang akan mengalami penjelmaan dalam tingkat yang lebih rendah, sengsara, atau menderita dan bahkan dapat menjadi mahluk yang lebih rendah tingkatannya. Sebaliknya, setiap karma yang dilakukan berdasarkan cubhakarma akan mengakibatkan Atman (roh) menuju sorga dan jika menjelma kembali akan mengalami tingkat penjelmaan yang lebih sempurna atau lebih tinggi. Di dalam Weda (S.S.48) dinyatakan sebagai berikut:
"Adharmarucayo mandas, tiryaggatiparayanah, krocchram yonimanuprapya,
na windanti sukham janah.
Adapun perbuatan orang yang bodoh, senantiasa tetap berlaku menyalahi dharma; setelah ia lepas dari neraka, menitislah ia menjadi binatang, seperti biri-biri, kerbau dan lain sebagainya; bila kelahirannya kemudian meningkat, ia menitis menjadi orang yang hina, sengsara, diombang-ambingkan kesedihan dan kemurungan hati, dan tidak mengalami kesenangan. Sedangkan orang yang selalu berbuat baik (cubhakarma), Sarasmuccaya menyebutkan: "Adapun orang yang selalu melakukan karma baik (cubhakarma), ia dikemudian hari akan menjelma dari sorga, menjadi orang yang tampan (cantik), berguna, berkedudukan tinggi, kaya raya dan berderajat mulia. Itulah hasil yang didapatnya sebagai hasil (phala) dari perbuatan yang baik".
Kesimpulannya, dengan keyakinan dengan adanya Punarbhawa ini maka orang harus sadar, bahwa bagaimana kelahirannya tergantung dari karma wasananya. Kalau ia membawa karma yang baik, lahirlah ia menjadi orang berbahagia, berbadan sehat dan berhasil cita-citanya. Sebaliknya bila orang membawa karma yang buruk, ia akan lahir menjadi orang yang menderita. Oleh karena itu kelahiran kembali ini adalah kesempatan untuk memperbaiki diri untuk meningkat ke taraf yang lebih tinggi.
Iyam hi yonihprathama, yam prapya jagattpate atmanam cakyate tratum, karmabhih  cubhalaksanaih (S.S. 4) Menjelma menjadi manusia itu sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya sendiri dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik; demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.
Sopanabhutam Swargasya, manusyam prapya durlabham, tathamanam samadyad, dhwamsetana purna yatha. (S.S. 6) Kesimpulannya, pergunakanlah dengan sebaik-baiknya kesempatan menjelma menjadi manusia ini, kesempatan yang sungguh sulit diperoleh, yang merupakan tangga untuk pergi ke sorga; segala sesuatu yang menyebabkan agar tidak jatuh lagi, itulah hendaknya dilakukan. Diantara semua mahluk hidup yang ada didunia ini, manusia adalah mahluk yang utama. Ia dapat berbuat baik maupun buruk, serta dapat melebur perbuatannya yang buruk dengan perbuatan yang baik. Oleh karena itu seseorang sepatutnya bersyukur dan berbesar hati lahir sebagai manusia. Karena sungguh tidaklah mudah untuk dapat dilahirkan menjadi manusia sekalipun manusia hina.
Penyebab Terjadinya Punarbhava. Punarbhava itu sesungguhnya adalah penderitan yang akan dirasakan oleh setiap mahluk di dunia ini, tetapi di sisi lain punarbhava itu juga merupakan sebagai kesempatan untuk melakukan karma yang baik, adanya punarbhava menurut ajaran agama Hindu disebabkan adanya karmawasana. Karmawasana muncul dari perbuatan manusia, yang di pergunakan sebagai pedoman benar atau salah itu dalam ajaran agama Hindu adalah sabda Tuhan dalam kitab suci. Karma pada masa lampau akan membuat wasana atau bekas pada atman, sehingga dengan demikian muculah punarbhava. Lamanya Punarbhava itu di tentukan banyak sedikitnya wasana yang ada pada atman, bila dilihat dari segi filosofis karma dan Punarbhava itu kedua-duanya adalah suatu proses yang terjalin erat satu dengan yang lain. Setiap karma yang dilakukan oleh seseorang di dorong oleh pikiran, indria dan nafsu yang tidak sesuai dengan garis kebenaran yang diajarkan oleh agama. Akibat yang ditimbulkan adalah dosa yang harus ditanggung oleh atman maka itu atman lahir kembali (punarbhava) yang semua disebabkan oleh karma itu sendiri. Dalam kehidupan di dunia ini sesungguhnys yang sangat banyak perbuatan yang di liputi oleh sad ripu, sad atatayi, dan sapta timira, akan membawa seseorang dalam penderitan, untuk dapat menghilangkan penyebab Punarbhava itu hendaklah seseorang dapat melenyapkan penyebab penderitan itu sendiri dengan jalan selalu berusaha mawas diri kearah yang benar. Adapun tangga yang patut ditempuh untuk dapat membebaskan diri dari hukum punarbhava itu adalah kesusilan, dana punya, budi luhur, pengabdian yang suci dan kebajikan itu sendiri. Memang kita sulit membebas diri dari hukum punarbhava kecuali kita bisa melakukan hal-hal yang berdasarkan ajaran agama seperti yang dilakukan orang-orang suci seperti maharsi, itu pun hanya sebagian orang-orang suci yang bisa melakukan, karena masih banyak terikat oleh keduniawian.  Dalam kehidupan sehari-hari maupun lingkungan bermasyarakat dapat kita lihat dan kita rasakan, penyebab terjadinya punarbhawa atau kelahiran kembali seperti: Adanya perbedaan kondisi kehidupan manusia di dunia seperti kaya-miskin, bahagia-sengsara, tanpan-cacat, dan sebagainya,walaupun Tuhan / Brahman diyakini bahwa maha adil, pengasih dan penyayang. Sebab terjadinya Punarbhawa seperti, ingin memperbaiki diri menuju kesempurnaan agar roh dapat mencapai Moksa. Mengenai kebenaran adanya punarbhawa, kitab suci memberikan kesaksian sebagai berikut :
Bahūni me vyatītāni janmāni tava cārjuna  veda sarvāni Tāny aham
 vettha parantapa. na tvam (Bh. Gita : IV.5) Artinya :
Banyak kelahirian (kehidupan yang telah kujalani dan demikian pula engkau,
O Arjuna, semua itu Aku ketahui, tetapi engkau tidak dapat mengetahuinya.
a)      Proses Terjadinya Punarbhava
Terjadinya punarbhava diakibatkan manusia di dunia ini masih melakukan hal-hal yang tidak baik, selalu mencapai atau mencari yang diinginkan melalui cara yang tidak baik, seperti KKN, mencuri milik orang lain, dll. Dikarenakan manusia di dunia ini masih diliputi oleh sad ripu, sad atatayi, sarta timira, makanya punarbhava itu selalu ada dalam diri manusia, akibat perbuatan yang dilakukannya tidak sesuai dengan ajaran agama. Selain itu juga selama isi bumi masih ada maka proses terjadinya punarbhawa akan tetap ada. Jadi proses terjadinya Punarbhawa, Setelah roh selesai menikmati hasil perbuatan di alam Roh atau Bwah Loka, melahirkan kembali roh tersebut. Kelahiran tersebut seseui dengan hasil perbuatannya. Jikalau roh disertai dengan hasil perbuatan baik, maka akan lahir Sorga yang disebut Swarga Syuta dan menjadi mahluk utama.  Kelahiran atma yang berulang ulang ke dunia ini membawa akibat suka duka. Didalam kitab suci bhagawangita Bab IV. 5 Sri Krsna bersabda:  
Sribhagavan uvaca:     Bahuni me vyatitani janmani tava carjuna Tany aham veda sarvani na twam vettha parantap Artinya Sri Bhagawan berkata:  
kelahiran-Ku di masa lalu demikian dan pula kelahiranm, Arjuna; Semuanya ini aku tahu tetapi engkau sendiri tidak, parantapa.  Setiap karma yang dilakukan atas dorongan indria dan kenafsuan adalah Asubha Karma karena akibatnya akan menimbulkan dosa, dan atma akan mengalami Neraka serta selanjutnya akan mengalami punarbhawa dalam tingkat yang lebih rendah. Demikian pula sebaliknya bahwa karma yang dilakukan atas dasar Buddhi Sattvam adalah Buddhi Dharma (Subha Karma) yang menyebabkan atma akan mendapat surga dan jika menjelma kembali akan mengalami tingkat penjelmaan yang sempurna dan lebih tinggi. Atma yang menjelma dari surga akan menjelma menjadi manusia yang hidup bahagia didunia dan kebahagiaan ini akan dirasakan dalam penjelmaan yang akan datang yang disebut Surga syuta.Sedangkan atma yang menjelma dari Neraka akan menjadi makhluk yang nista, mengalami banyak penderitaan dalam hidup di dunia. Penjelmaan dalam penderitaan ini disebut kelahiran Neraka Syuta. Jadi dengan demikian tingkat dan keadaan penjelmaan itu berbeda-beda tergantung dari jenis Subha dan Asubha Karma yang diperbuatnya.  Pembebasan dari samsara berarti mencapai penyempurnaan atma dan mencapai moksa yang dapat dicapai di dunia ini juga. Selanjutnya keyakinan adanya Punarbhawa ini akan menimbulkan tindakan sebagai berikut :
Ø  Pitra Yadnya Yaitu memberikan korban suci terhadap leluhur kita, karena kita percaya leluhur itu masih hidup di dunia ini yang lebih halus.
Ø  Pelaksanaan dana Punya ( amal saleh ), karena perbuatan ini membawa kebahagiaan setelah meninggal.
Ø  Berusaha menghindari semua perbuatan buruk karena jika tidak, akan membawa ke alam neraka atau menglami kehidupan yang lebih buruk lagi. Pengalaman Hidup yang merupakan bukti dari adanya Punarbhawa tersebut, bisa dilihat pada Lampiran halaman terakhir.
5)      Moksa
Dalam keyakinan umat hindu yang menjadi tujuan hidup manusia di alam ini adalahMoksa. Dalam kitab suci weda , dinyatakan “Moksartham jagadhita ya ca iti dharma” yang artinya, bahwa tujuan agama (Dharma) itu adalah untuk mencapai Moksa (Mokshartham) dan kesejahteraan umat manusia (Jagadhita).  Kata moksa berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata Muc yang berarti membebaskan atau melepaskan. Dengan demikian, kata Moksa berarti kelepasanan kebebasan. Dari segi istilah, moksa disamakan dengan nirwana dan nisreyasa atau kaparamarthan.  
Mencapai Moksa,Untuk mencapai moksa seseorang harus mempunyai persyaratan2 tertentu sehingga proses mencapai moksa dapat berjalan sesuai dengan norma2 ajaran agama Hindu. Dalam mencapai Moksa dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
a)      Dharma.
Dalam ajaran agama Hindu yang terdapat dalam Catur Parusanta dijelaskan bahwa tujuan dari kehidupan adalah bagaimana untuk menegakkan Dharma, setiap tindakan harus berdasarkan kebenaran tidak ada dharma yang lebih tinggi dari kebenaran. Dalam Bagawad Gita disebutkan bahwa Dharma dan Kebenaran adalah nafas kehidupan. Krisna dalam wejangannya kepada Arjuna mengatakan bahwa dimana ada Dharma, disana ada Kebajikan dan Kesucian, dimana Kewajiban dan Kebenaran dipatuhi disana ada kemenangan. Orang yang melindungi dharma akan dilindungi oleh dharma maka selalu tempuhlah kehidupan yang suci dan terhormat. Dalam zaman edan saat ini semua orang mengabaikan kebenaran, orang sudah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, krisis moral sudah meraja lela dimana mana, kebenaran dan keadilan sudah langka, orang sudah tidak mengenal budaya malu, semua perbuatannya dianggap sudah benar dan normal. Sebenarnya Dharma tidak pernah berubah, Dharma telah ada pada zaman dahulu, zaman sekarang dan zaman yang akan datang, ada sepanjang zaman tetapi setiap zaman mempunyai karateristik lain2 dalam melakukan latihan kerohanian (spiritual). Untuk Kerta Yuga latihan kerohanian yang baik adalah melakukan Meditasi, untuk Treta Yuga latihan kerochanian yang baik adalah dengan melakukan Yadnya atau kurban, untuk Dwapara latihan kerochanian yang baik adalah dengan melakukan Yoga yaitu upacara pemujaan dan untuk Kali Yuga latihan kerochanian yang baik adalah dengan melakukan Nama Smarana yaitu mengulang ngulang atau menyebut nama Tuhan yang suci.
b)      Pendekatan kepada Yang Widhi Wasa
Untuk mendekatkan diri kehadapan Yang Widhi Wasa ada beberapa cara yang dilakukan Umat Hindu yaitu cara Darana (menetapkan cipta), Dhyana (memusatkan cipta), dan Semadi (mengheningkan cipta). Dengan melakukan latihan rochani , terutama dengan penyelidikan bathin, akan dapat menyadari kesatuan dan menikmati sifat Tuhan yang selalu ada dalam diri kita. Apabila sifat2 Tuhan sudah melekat dalam diri kita maka kita sudah dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa sehingga segala permohonan kita akan dikabulkan dan kita selalu dapat perlindungan dan keselamatan.
c)      Kesucian.
Untuk memperoleh pengetahuan suci, dan menghayati Yang Widhi Wasa dalam keberagaman dinyatakan dalam doa Upanishad yang termasyur : Asatoma Satgamaya, Tamasoma Jyothir Gamaya, Mrityorma Amritan Gamaya yang artinya, Tuntunanlah kami dari yang palsu ke yang sejati, tuntunlah kami dari yang gelap ke yang terang, tuntunlah kami dari kematian ke kekalan. Setiap kita melakukan kegiatan2, kita biasakan untuk memohon tuntunan kehadapan Yang Widhi Wasa agar kita selamat dan selalu dilindungi. Pekerjaan apapun kita lakukan, apabila kita bekerja demi Tuhan dan dipersembahkan kehadapan Yang Widhi Wasa, maka pekerjaan tersebut mempunyai nilai yang sangat tinggi. Dengan menghubungkan pekerjaan tersebut dengan Yang Widhi Wasa, maka ia menjadi suci dan mempunyai kemampuan dan nilai yang tinggi.Tujuan dari kehidupan kita adalah agar atman terbebas dari triguna dan menyatu dengan Para atman. Didalam Weda disebut yaitu Moksartham Jaga Dhitaya Ca Iti Dharmah yang artinya adalah tujuan agama (Dharma) kita adalah untuk mencapai moksa (moksa artham) dan kesejahteraan umat manusia (jagadhita).
Ø  Ciri-ciri orang yang telah mencapai jiwatman mukti adalah.
a)   Selalu mendapat ketenangan lahir maupun bathin.
b)   Tidak terpengaruh dengan suasana suka maupun duka
c)   Tidak terikat dengan keduniawian.
d)  Tidak mementingkan diri sendiri, selalu mementingkan orang lain (masyarakat banyak).
d)     Tingkatan- tingkatan Moksa
Untuk mencapai moksa juga mempunyai tingkatan-tingkatan tergantung dari karma (perbuatannya) selama hidupnya apakah sudah sesuai dengan ajaran-ajaran agama Hindu. Tingkatantingkatan seseorang yang telah mencapai moksa dapat dikatagorikan sebagai berikut:
1)      Apabila seorang yang sudah mencapai kebebasan rochani dengan meninggalkan mayat disebut Moksa.
2)      Apabila seorang yang sudah mencapai kebebasan rochani dengan tidak meninggalkan mayat tetapi meninggalkan bekas2 misalnya abu, tulang disebut Adi Moksa.
3)      Apabila seorang yang telah mencapi kebebasan rochani yang tidak meninggalkan mayat serta tidak membekas disebut Parana Moksa.
Moksa ini dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu : Samipya, Sarupya, Salokya dan Sayujya. Adapun penjelasannya masing-masing adalah sebagai berikut :
1)      Samipya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya didunia ini.
2)      Sarupya (sadharmya) adalah suatu kebebasan yang didapat oleh seseorang di dunia ini karena kelahirannya.
3)       Salokya adalah suatu kebebasan yang didapat oleh Atman, dimana atman itu sendiri telah berada dalam posisi dan kesadaran yang sama dengan tuhan.
4)      Sayujya adalah suatu tingkat kebebasan yang tertinggi, dimana Atman telah dapat bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa (Brahman).
Adapun tingkatan-tingkatan moksa itu, yaitu : Jiwa Mukti, Wideha Mukti (Karma Mukti), Purna Mukti. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
1)      Jiwa Mukti adalah suatu kebebasan yang didapatkan oleh seseorang dalam hidupnya didunia ini, dimana Atman tidak terpengaruh oleh indriya dan usur-unsur dari maya (keduniawian).
2)      Wideha Mukti (Karma Mukti) adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai semasa hidupnya.
3)      Purna Mukti adalah kebebasan yang paling sempurna dan yang tertinggi, dimana Atman telah bersatu dengan Brahman (tuhan).
e)      Cara Mencapai Moksa
Moksa adalah alam Brahman yang sangat Gaib, dan berada diluar batas pemikiran umat manusia. Yang dimaksud dengan kebebasan dalam pengertian Moksa ialah terlepasnya Atman dari ikatan maya,  sehingga dapat menyatu dengan Brahman. Bagi orang yang telah mencapai Moksa berarti mereka telah mencapai alam Sat Cit Ananda,yaitu kebahagiaan yang tertinggi. Jalan yang ditunjuk oleh ajaran agama untuk mencapai Moksa adalah Catur Marga Yoga yaitu adalah empat jalan yoga untuk mencapai moksa, bagianya adalah:
1)      Bhakti Marga Yoga
Bhakti Marga Yoga adalah proses atau cara mempersatukan atman dengan brahman dengan berlandaskan atas dasar cinta kasih yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kata “bhakti” berarti hormat, taat, sujud, menyembah, persembahan dan kasih. Seorang Bhakta (orang yang menjalani Bhakti Marga)dengan sujud dan cinta, menyembah dan berdoa dengan pasrah mempersembahkan jiwa raganya sebagai Yajna kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Jadi untuk lebih jelasnya seorang Bhakta akan selalu berusaha melenyapkan kebenciannya kepada semua makhluk. Sebaliknya ia selalu berusaha memupuk dan mengembangkan sifat-sifatmaitri, karuna mudita dan upeksa (Catur Paramita).
2)      Karma Marga Yoga
Karma Marga Yoga adalah jalan ataau cara untuk mencapai Moksa dengan perbuatan atau kebajikan tanpa pamrih. Seorang karmin (orang yang menjalani Karma Marga Yoga) ia akan selalu berpedoman pada Rame ing gawe sepi ing pamrih, yang artinya bekerja keras tanpa menginginkan hasil.
3)      Jnana Marga Yoga
Jnana artinya kebijaksanaan filsafat (pengetahuan). Yoga bersal dari urat kata Yuj artinya, menghubungkan diri. Jadi, Jnana Marga Yoga artinya, mempersatukan jiwatman dengan paramatman yang dicapai dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pembebasan diri dari ikatan-ikatan keduniawian. Seorang yang mempelajari ajaran Jnana Marga Yoga disebutJnanin.
4)      Raja Marga Yoga
  Raja Marga Yoga adalah Suatu jalan mistik (rohani) untuk mencapai kelepasan atau Moksa. Melalui Raja Marga Yoga seseorang akan lebih cepat mencapai Moksa, tetapi tangtangan yang dihadapipun lebih berat. Ada tiga jalanpelaksanaan yang ditempuh oleh para Raja Yogin (orang yang menjalani Raja Marga Yoga), yaitu melaksanakan Tapa Brata, Yoga dan Samadhi. Tapa dan Brata merupakan suatu latihan untuk mengendalikan emosi atau hawa nafsu yang ada dalam diri kita kearah yang positif sesuai dengan arah kitab suci. Sedangkan Yoga dan Samadhi adalah latihan untuk dapat menyatukan Atman dengan Brahman dengan melakukan meditasi atau pemusatan pikiran. Seorang yogin akan menghubungkan dirinya memalui Astangga Yoga yaitu Delapan tahapan Yoga untuk mencapai Moksa. Astangga Yoga diajarkan oleh Mara Resi Patanjali dalam bukunya yang disebut Yoga Sutra Patanjali yaitu sebagai berikut :
a)      Yama yaitu suatu bentuk larangan yang harus dilakukan seseorang dari segi jasmani.
b)      Nyama yaitu Pengendalian diri yang lebih bersifat Rohani.
c)      Asana yaitu Sikap duduk yang menyenangkan, teratur dan disiplin.
d)     Pranayama yaitu mengatur pernafasan sehingga menjadi sempurna.
e)      Pratyahara yaitu mengontrol dan mengendalikan indriyaa dari ikatan objeknya sehingga orang dapat melihat hal-hal yang suci.
f)       Dharana yaitu usaha-usaha untuk menyatukan pikiran dengan sasaran yang diinginkan.
g)      Dhayana yaitu pemusatan pikiran yang tenang, tidak tergoyahkan pada suatu objek.
h)       Samaddhi yaitu penyatuan Atma.
Oleh sebab itu marilah kita melatih diri untuk melaksanakan ajaran Astangga Yoga dengan tuntutan seorang guru yang telah memiliki kemampuan dalam hal Yoga. Moksa adalah terlepasnya Atman dari belenggu maya (bebas dari pengaruh karma dan punarbhawa) dan akhirnya bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa.




















BAB II
CADHU SAKTI

A.  PENGERTIAN CADHU SAKTI
Cadhu Sakti artinya empat kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi dalam mengembangkan ciptaan-Nya. Cadhu sakti sering juga disebut Catur Sakti. Kata Cadhu Sakti  berasal dari kata: Cadhu artinya tempat, dan Sakti artinya kemahakuasaan, kesaktian, kekuatan. Disamping perwujudan dan kesaktian yang tersebut Tri Murti dan Trisakti, Sang Hyang Widhi juga mempunyai sebutan Cadhu Sakti atau 4 (empat) kemahakuasaan Brahman/Ida SangHyang Widi Wasa.Cadu Sakti yang meliputi 4 kekuasaan yaitu :
1)      Prabu Sakti
Prabu Sakti berarti bahwa Sang hyang Widhi Maha Kuasa untuk mencipta(upeti), memelihara(stiti) dan mengembalikan keasalnya (Pralina).
2)      Wibhu Sakti
Wibhu Sakti berarti Sang Hyang Widhi maha ada. Beliau maha ada , meresap dan memenuhi alam semesta (Bhuwana) Sang Hyang Widhi disebut “ Wiyapi Wyapaka Nirwikara”. Wyapi Wyapaka artinya selalu dan ada dimana-mana, Nirwikara artinya tidak terpengaruh, tidak berubah dan mengatasi segala-galanya.
3)      Jnana Sakti
Jnana Sakti berarti Sang Hyang Widhi maha mengetahui . Sang Hyang Widhi mengetahu segala gerak-gerik tingkah laku, amal perbuatan dan dosa semua mahkluk, termasuk segala apa yang ada pada diri kita masing-masing.
4)      Kriya Sakti
Kriya Sakti artinya Maha Karya . Beliau dapat berkarya/bekerja melakukan apa saja yang dikehendaki. Tidak hanya untuk mencipta, memlihara dan mempralina alam semesta isinya apa saja.
Wrhaspati Tattwa menyebutkan :
Utpadaka na sadhakah
Tat tasya anugrahaparah
Wirocanakaro nityah
Sarwajna sarwardwibuh

Sawyaparah Bhatara Sada Ciwa
Hana padmasana pinakapulungguhanira
Aparan ikang padmasana ngaranya

Caktinira, Cakti ngaranya Wibhu Cakti
Prabu Cakti, Jnana Cakti, Kriya Cakti,
Nahan hyang Cadu Cakti

“Terliput(oleh kekuasaan kodrat mahakuasa) Bhatara Sada Ciwa (Hyang Widhi Waca) . ada singasana teratai(padmasana) sebagai tempat-Nya yang dimaksud dengan singasa teratai itu lain dari pada Caktinya(kekuatan kodratnya) Cakti tersebut ialah Wibhu Cakti(maha ada), Prabu Cakti(Maha Kuasa), Jnana Cakti(Maha tau), KriyaCakti (Maha Karya) ; demikianlah Cadu Cakti (empat Maha Kuasa ) itu”

B.   PENGERTIAN ASTA AISWARYA ATAU ASTA SAKTI

 Asta aiswarya/asta sakti artinya Delapan kemahakuasaan sang hyang widhi. Kedelapan sifat keagungan Sang Hyang Widhi Wasa ini, disimbulkan dengan singgasana teratai (padmasana) yang berdaun bunga delapan helai (astadala). Singgasana teratai adalah lambang kemahakuasaan- Nya dan daun bunga teratai sejumlah delapan helai itu adalah lambang delapan sifat agung/ kemahakuasaan (Astaiswarya) yang menguasai dan mengatur alam semesta dan makhluk semua.
Selain itu dari pada ke 4 Cakti itu, Sada Ciwa (Saguna Brahma) mempunyai 8 sifat mahakuasa yang disebut Asta Cakti atau Astaiswarya (Asta berarti 8 : Cakti atau Iswarya berarti Maha Kuasa ) .Adapun Astacakti atau Asta Iswarya itu adalah :
1)      “Hana Anima ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Anima "Anu" yang berarti "atom". Anima dari Astaiswarya, ialah sifat yang halus bagaikan kehalusan atom yang dimiliki oleh Sang Hyang Widhi Wasa. Contohnya dalam sifat ini dapat meresap kesemua tempat termasuk ke dalam pikiran manusia seperti air yang bisa menuembus batu,gunung yang besar tanpa halangan.
2)      “hana Laghima ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Laghima Laghima berasal dari kata "Laghu" yang artinya ringan. Laghima berarti sifat- Nya yang amat ringan lebih ringan dari ether. Contohnya seperti gas yang dapat meresap ke pori-pori atau lubang sekecil apapun dan dapat terbang keangkasa, serta dapat mengapung di air.
3)      ”hana Mahima ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Mahima Mahima berasal dari kata "Maha" yang berarti Maha Besar, di sini berarti Sang Hyang Widhi Wasa meliputi semua tempat. Tidak ada tempat yang kosong (hampa) bagi- Nya, semua ruang angkasa dipenuhi. 
4)      “hana Prapti ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Prapti Prapti berasal dari "Prapta" yang artinya tercapai. Prapti berarti segala tempat tercapai oleh- Nya, ke mana Ia hendak pergi di sana Ia telah ada. Contohnya beliau adalah maha Agung yang ada dimana-mana atau yang disebut “Sarwagatah”. Walau beliau di sembah pada tempat yang berbeda beliau akan datang atau ada pada tempat itu pada waktu yang bersaman.
5)      “hana Prakamya ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Prakamya Prakamya berasal dari kata "Pra Kama" berarti segala kehendak- Nya selalu terlaksana atau terjadi. Contohnya pada setiap kegiatan pasti akan menghasilkan sesuatu tujuan seperti pada saat kita menanam padi belum tentu akan langsung menghasilkan padi dan pada waktunya dia akan berbuah.
6)      “hana Isitwa ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Isitwa Isitwa berasal dari kata "Isa" yang berarti raja, Isitwa berarti merajai segala- galanya, dalam segala hal paling utama. Contohnya beliau maharaja dari raja beliau yang memimpin alam semesta beserta isinya.
7)      “hana Wasitwa ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Wasitwa Wasitwa berasal dari kata "Wasa" yang berarti menguasai dan mengatasi. Wasitwa artinya paling berkuasa. Contohnya beliau merupakan mahakuasa yang menguasai alam semesta.
8)      “hana Yatrakamawasayitwa ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Yatrakamawasayitwa Yatrakamawasayitwa berarti tidak ada yang dapat menentang kehendak dan kodrat- Nya. Contohnya apabila beliau mengkehendaki adanya bencana atau peristiwa maka manusia gak akan dapat menentang atau menghalangi keinginan beliau tersebut.
Kedelapan sifat keagungan Sang Hyang Widhi Wasa ini, disimbulkan dengan singgasana teratai (padmasana) yang berdaun bunga delapan helai (astadala). Singgasana teratai adalah lambang kemahakuasaan- Nya dan daun bunga teratai sejumlah delapan helai itu adalah lambang delapan sifat agung/ kemahakuasaan (Astaiswarya) yang menguasai dan mengatur alam semesta dan makhluk semua.











BAB III

Tri Murti

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPA07v0RdlTdkXfirjuvyBjWiAwwYywiBsiH17R-l8woTHhE9wTTttx4oWTGm4NoY0BtQw4Cw8MGKFbRzAU_qmKdDZVBFfzti_vJHGLRpmi2ZrMeCrJ-RzdJshKYXaIdl9LBXgPSFhQA1T/s200/trimurti1.jpg
A.Pengertian Trimurti
Menurut arti katanya, Trimūrti adalah “Tiga Badan”, dan maksudnya adalah tiga kekuatan Brahman (Sang Hyang Widhi, sebutan Tuhan dalam agama Hindu) dalam menciptakan, memelihara, melebur alam beserta isinya.

B.Bagian-bagian Trimurti
Trimurti terdiri dari 3 yaitu: 
Ø  Dewa Brahma
Fungsi: Pencipta / Utpathi 
Sakti: Dewi Saraswati yang merupakan dewi ilmu pengetahuan 
Senjata: Busur 
Simbol: A (ang)
Warna: Merah
Ø  Dewa Wisnu
Fungsi: Pemelihara / Sthiti 
Sakti: Dewi Laksmi atau Sri 
Senjata: Cakram 
Simbol: U (ung)
Warna: Hitam

Ø  Dewa Siwa
Fungsi: Penghancur / Pralina 
Sakti: Dewi Durga, Uma, dan Parwati 
Senjata: Trisula 
Simbol: M (mang)
Warna: Manca Warna
tapi akan berbeda posisinya saat kita membicarakan Dewata Nawa Sanga. Apabila simbol dari ketiga dewa tesebut digabungkan, maka akan menjadi AUM yang dibaca "OM" ( ) yang merupakan simbol suci agama Hindu.
Di antara ketiga dewa tertinggi itu hanya Wi şņu dan Çiwa yang mendapat pemujaan luar biasa. Hal ini adalah wajar mengingat bahwa yang dihadapi manusia adalah apa yang sudah tercipta. Oleh karena itu, dewa pencipta dengan sendirinya terdesak oleh kepentingan manusia, yang lebih memperhatikan berlangsungnya apa yang sudah tercipta itu. Pun kenyataan bahwa segala apa akan binasa karena waktu, selalu memenuhi perhatian manusia.Di antara para pemeluk agama Hindu, separuhnya lebih-lebih memuja Wisnu, separuhnya lagi memuja Çiwa. Para pemuja Wişņu (golongan Waşņawa) dan para pemuja Çiwa (golongan Çaiwa) tidak mengingkari kedudukan Trimurti, tidak pula beranggapan bahwa Wişņu dan Çiwa adalah dewa yang satu-satunya. Hanyalah ada pendapat bahwa bagi golongan Waişņawa, Çiwa itu adalah Wişņu dalam bentuknya sebagai dewa pembinasa, sedangkan sebaliknya bagi golongan Çaiwa, Wişņu adalah Çiwa sebagai pemelihara alam semesta.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa dalam Trim ūrti itu Çiwa yang dianggap sebagai dewa tertinggi atau Mahadewa atau Maheçwara. Memang sebagai dewa waktu atau Mahakala, ia sangat berkuasa oleh karena waktulah yang sesungguhnya mengadakan, melangsungkan, dan membinasakan. Segala apa terikat kepada waktu, ada tidaknya sesuatu tergantung kepada waktu. Sifat-sifat keagungan dan kedahsyatan dalam ruang dan waktu yang tak terbatas itulah yang menundukkan manusia untuk menginsyafi kekecilannya di dalam alam semesta. Maka pemujaan kepada Çiwa itu selalu disertai permohonan akan kemurahannya dan rasa takut tidak dapat dihindarkan.
Sesuai dengan beraneka macamnya sifat yang berpadu dalam Içwara sebagai Yang Maha Kuasa maka kecuali sebagai Mahadewa, Maheçwara, dan Mahakala, Çiwa juga dipuja sebagai Mahaguru dan Mahayogi; yang menjadi teladan serta pemimpin para pertapa. Serta, sebagai Bhairawa yang siap untuk merusak membinasakan segala apa yang ada.

Berlainan sekali sifatnya adalah Wi şņu. Dalam segala bentuk dan perwujudannya, ia tetaplah dewa yang memlihara dan melangsungkan alam semesta. Maka, sebagai penyelenggara dan pelindung dunia, ia digambarkan setiap saat siap untuk memberantas semua bahaya yang mengancam keselamatan dunia. Untuk keperluan ini, Wişņu turun ke dunia dalam bentuk penjelmaan yang sesuai dengan bahayanya sebagai awatara.

Kecuali Trimūrti, masih banyak dewa-dewa lainnya. Sebagian besar daripadanya adalah dewa-dewa yang sudah dikenal dari zaman Weda sebelumnya, beberapa diantaranya sudah berubah sifatnya. Sebagai contoh, Waruna yang tak lagi sebagai dewa angkasa seperti di zaman Weda, melainkan telah berubah menjadi dewa laut. Sebagian lagi adalah dewa-dewa yang mula-mula dipuja setempat-setempat.

C. PENJELASAN MASING-MASING BAGIAN TRIMURTI
1.Dewa Brahma
Brahma yang dikenal sebagai salah seorang dewa Trimūrti ini bila dibandingkan dengan dewa-dewa Trimūrti lainnya, yaitu Çiwa dan Wişņu, tidaklah sebesar dan sepenting keduanya. Tidak ada kuil atau bangunan suci untuk memujanya, juga tidak ada aliran yang khusus memuja Brahma seperti yang terjadi pada aliran-aliran Çiwait maupun Wişņuit.Walaupun tidak ada bangunan suci yang diperuntukkan kepadanya, dalam relung-relung kuil-kuil untuk Çiwa dan Wişņu, umumnya di relung utara diletakkan arca Dewa Brahma yang kadang-kadang juga dipuja.Brahma adalah dewa yang menduduki tempat pertama dalam susunan dewa-dewa Trimūrti, sebagai dewa pencipta alam semesta.
Mitologi tentang Brahma muncul pertama kali dan berkembang pada zaman Brahmāna. Brahma dianggap sebagai perwujudan dari Brahman, jiwa tertinggi yang abadi dan muncul dengan sendirinya.Menurut kitab Satapatha Brahmāna, dikatakan bahwa Brahmalah yang menciptakan, menempatkan, dan memberi tugas para dewa. Sebaliknya, di dalam kitab Mahabharata dan Purana dikatakan bahwa Brahma merupakan leluhur dunia yang muncul dari pusar Wisnu. Sebagai pencipta dunia, Brahma dikenal dengan nama Hiranyagarbha atau Prajapati.
Dalam ajaran-ajaran Weda dikatakan bahwa pada mulanya di saat dunia masih diselubungi oleh kegelapan, ketiak belum tercipta apa pun, Ia, makhluk yang ada dengan sendirinya yang tanpa awal dan akhir, berkeinginan mencipta alam semesta dari tubuhnya sendiri.Mula-mula ia menciptakan air, kemudian menyebarkan bermacam-macam benih-benihan. Dari benih-benih ini kemudian muncul telur emas yang bersinar seperti cahaya matahari. Dari telur emas inilah Brahma lahir yang merupakan perwujudan dari Sang Pencipta itu sendiri. Menurut kitab Wişņu Purāna, telur emas itu merupakan tempat tinggal Sang pencipta selama ribuan tahun yang akhirnya pecah, dan muncullah Brahma dari dalamnya untuk mencipta dunia dengan segala isinya.
Brahma, seperti juga Çiwa dan Wişņu, memiliki bermacam-macam nama sebutan, di antaranya adalah Atmabhu (yang ada dengan sendirinya), Annawūrti (pengendara angkasa), Ananta (yang tiada akhir), Bodha (guru), Bŗhaspat (raja yang agung), Dhātā (pencipta), Druhina (sang pencipta), Hiranyagarbha (lahir dari telur emas), Lokesha (raja seluruh dunia), Prajāpati (raja dari segala makhluk), dan Swayambhū (yang ada dengan sendirinya). Di dalam mitologi Hindu dikatakan bahwa wahana (kendaraan) Brahma adalah hamsa (angsa).
Binantang-binantang yang dijadikan sebagai kendaraan para dewa pada kenyataannya merupakan manifestasi dari sifat-sifat para dewa itu sendiri. Hamsa adalah simbol dari “kebebasan” untuk hidup kekal. Sifat seperti ini dimiliki oleh Brahma. Hamsa merupakan binatang yang dapat hidup di dua alam, dapat berenang di air, dan terbang ke angkasa. Di air ia dapat berenang semaunya dan di angkasa ia dapat terbang ke mana saja ia suka. Ia mempunyai kebebasan, baik di bumi (= air) maupun di angkasa.
Dewa berkepala empat, Brahma dikenal juga sebagai dewa berkepala empat dengan masing-masing muka menghadap keempat arah mata angin. Keempat muka Brahma merupakan simbol dari empat kitab Weda, empat Yuga, dan empat warna. Karena memiliki empat kepala, brahma juga dikenal sebagai catur anana atau catur mukha atau asta karna (delapan telinga).Kitab Matsya Purana menyebutkan bahwa kepala Brahma berjumlah lima, tapi tinggal empat karena dipotong Çiwa. Dalam kitab ini diceritakan bahwa Brahma mencipta seorang wanita dari tubuhnya sendiri yang diberinya lima buah nama; Satarupā, Sawitri, Saraswatī, Gāyatri, dan Brāhmani. Karena cantiknya, Brahma merasa tertarik, sehingga sang dewi terus dipandang. Satarupā yang merasa terus diperhatikan menghindar ke sebelah kanan.
Dewa Brahma sebagai dewa besar malu untuk menoleh ke kanan dan karena itu muncul kepala Brahma ke dua di sebelah kanan. Begitu pula ketika Satarupā menghindar ke kiri, ke belakang, dan akhirnya muncul kepala Brahma yang kelima ketika Satarupā menghindar dengan terbang ke angkasa.
Menurut kitab Padma Purāna, ketika terjadi perselisihan antara Brahma dan Wişņu, Çiwa datang melerai keduanya dengan mengabulkan permintaan keduanya. Brahma sangat gembira, sehingga lupa memberi penghormatan kepada Çiwa. Çiwa merasa kurang senang lalu menghampiri Brahma dan kemudian memotong salah satu kepalanya dengan kuku jari kirinya dan berkata’ “Kepala ini terlalu terang, akan memberikan kesulitan kapada dunia karena sinarnya yang terang melebihi seribu cahaya matahari.”

2).Dewa Wisnu
Dalam agama Hindu, Wişņu merupakan salah satu dewa Trimurti yang dianggap sebagai dewa pemelihara dunia. Pemujaan terhadap Wişņu telah disinggung dalam Ŗg-Weda, Yajur-Weda, Sama-Weda, dan Atharwa-Weda. Dalam kitab-kitab itu, Wişņu belum dianggap sebagai dewa yang tinggi kedudukannya seperti pada masa selanjutnya.
Dikatakan bahwa Wişņu mempunyai sifat sebagai matahari, dan telah mengunjungi tujuh bagian dunia. Ia mengelilingi dunia dengan tiga langkah (tiwikrama).
Wişņu merupakan dewa yang menjelma dalam tiga wujud; api, halilintar, dan sinar matahari. Ketiga wujud ini menunjukkan tiga wujud perjalanan matahari; terbit, mencapai cakrawala (zenit), dan terbenam.Kedudukan Wişņu sebagai dewa matahari dalam agama Hindu masih dikenal dalam bentuk samar-samar. Penyembahan pada Wişņu dalam bentuk matahari biasanya disebut Surya Narayana. Pemujaan Surya Narayana pada umumnya dilakukan pada hari Minggu dan pada hari-hari besar tertentu.
Dalam kitab Ŗig-Weda disebutkan bahwa Wişņu merupakan pelindung. Dari sinilah asal mula benih-benih yang kemudian berkembang menuju semakin tingginya kedudukan Wişņu di masa kemudian. Wişņu kadang-kadang dianggap sebagai korban yajŋa, sehingga ia disebut sebagai Yajŋa Narayana.
Tiga dewa serangkai yang disebut dalam kitab Weda sebagai prototype dari dewa Trimurti pada masa kemudian adalah Agni sebagai dewa dunia, Wayu sebagai dewa angkasa, dan Surya sebagai dewa langit. Hal itu didasarkan pada tugas Trimurti, yaitu membinasakan, yang biasa dilakukan oleh Çiwa, yang intinya dapat ditemukan dalam kekuatan yang dimiliki oleh angin ribut (Wayu). Bersama dengan Dewa Wayu yang dianggap sebagai dewa angin, dipuja pula Dewa Indra sebagai dewa matahari atau dewa dari angkasa yang terang benderang. Angkasa yang terang benderang ini dikuasai oleh Wişņu dan Indra. Menurut kitab Weda, Wisnu menerima warna biru dari Indra. Berkat Indra pulalah Wişņu mendapat sebutan Wasudewa.
Demikian juga melalui Indra, dihubungkan dengan pahlawan dunia. Dari kitab Mahābhārata dapat diketahui pertumbuhan Wişņu yang semakin meningkat. Wişņu yang mula-mula sebagai dewa matahari, kemudian meningkat menjadi salah satu dewa Trimurti dan kemudian menjadi tokoh sentral.
Sejarah perkembangan kedudukan Wişņu dapat diikuti dengan jelas dalam kesusastraan India Kuno. Dalam epik Mahābhārata, Krsna dan Arjuna, meskipun tidak jelas hubungannya dengan Surya, dan berdasarkan sifat-sifat Indra yang menjadi dewa langit dapat diketahui dengan samar-samar hubungannya antara Surya dan Wişņu melalui Indra.Kedudukan Wişņu yang tinggi dan anggapan bahwa Wişņu merupakan salah satu dari Dewa Trimurti dapat ditemukan dalam kitab-kitab Itihasa dan Purana serta kitab-kitab kesusastraan India yang membicarakan tentang ilmu arca.
Wişņu sebagai pemelihara dunia Wişņu sebagai pemelihara dunia kerap turun ke dunia untuk menolong dunia dari kehancuran. Dalam upaya menolong dunia, Wişņu turun ke dunia untuk beremanasi atau menjelma dalam bentuk manusia atau benda. Dalam penjelmaannya ini Wişņu dapat menjelma penuh, sebagai manusia dan berlangsung dalam jangka waktu lama (umumnya disebut ber-awatāra), sementara (umumnya disebut awesa), atau memancarkan sebagian kekuatannya pada benda-benda tertentu yang dianggap keramat (umumnya disebut amsa).Awatāra Wişņu misalnya turun sebagai Rama, Arjuna, dan Kŗşna. Sementara, awesa Wişņu adalah sebagai Paraçurama yang turun ke dunia untuk menindas pemberontakan para ksatria. Dalam waktu yang relatif pendek, Paraçurama dapat menyelesaikan tugasnya. Tidak lama sesudah dapat menyelesaikan tugasnya, Paraçurama bertemu dengan Raghurama, kepada siapa ia menyerahkan segala “kedewataannya”, sehingga ia tidak mempunyai tugas lagi dan tidak dimasuki kekuatan Dewa Wişņu lagi.
Wişņu pun dapat memancarkan sebagian kekuatannya untuk menolong dunia ke dalam bentuk senjata, misalnya sankha dan cakra. Kedua senjata itu diyakini dapat memberikan perlindungan seperti layaknya Dewa Wişņu itu sendiri. Kedua benda itu mempunyai sifat-sifat kedewataan yang dijelmakan ke dunia sebagai benda keramat.
Awatāra Wişņu Dalam beberapa kesusastraan, kita kenal bermacam-macam awatara Wişņu, diantaranya yang terkenal ada sepuluh yang lebih dikenal dengan sebutan Dasawatāra Wişņu, seperti yang terdapat dalam kitab Waraha Purana. Sebaliknya dalam kitab Bhagawata Purana disebutkan sebanyka 22 awatāra. Menurut kepercayaan Hindu India, dasawatāra dianggap berhubungan dengan sepuluh macam kejadian di dunia, ketika Wişņu bertugas menghancurkan berbagai rintangan yang menghalangi perputaran dunia. Kesembilan di antaranya sudah terjadi, sedangkan yang kesepuluh belum terjadi. Kesepuluh awatāra Wişņu menurut Waraha Purana itu adalah:
1)      Matsya awatāra – Sebagai ikan (matsya), Wişņu meolong Manu, yaitu manusia pertama, untuk menghindarkan diri dari air bah yang menelan dunia.
2)      Kurma awatāra – Sebagai kura-kura (kurma), Wişņu berdiri di atas dasar laut menjadi alas bagi Gunung Mandara yang dipakai oleh para dewa untuk mengaduk lautan dalam usaha mereka mendapatkan amrta atau air penghidup.
3)      Waraha awatāra – Ketika dunia ditelan laut dan ditarik ke dalam kegelapan patala (dunia bawah), Wişņu menjadi babi hutan (waraha) dan mengangkat dunia kembali ke tempatnya.
4)      Narasimha awatāra – Hiranyakasipu, seorang raksasa, dengan sangat lalimnya menguasai dunia. Kesaktiannya yang luar biasa menjadikan ia tak dapat dibununh oleh dewa, manusia, maupun binatang, tak dapat mati di waktu siang dan juga malam. Maka, untuk memberantasnya, Wişņu menjelma menjadi singa-manusia (narasimha) dan dibunuhnya Hiranyakasipu pada waktu senja.
5)      Wamana awatāra – Wişņu menjelma sebagai orang kerdil (wamana) dan meminta kepada Daitya Bali yang denagn sangat lalim memerintah dunia supaya kepadanya diberikan tanah seluas tiga langkah. Setelah diizinkan maka dengan tiga langkah (tiwikrama) ini ia menguasai dunia, angkasa, dan surga. Di sini tampak Wişņu sebagai Dewa Matahari, yang “menguasai” dunia dengan tiga langkahnya; waktu terbit, waktu tengah hari, dan waktu terbenam.
6)      Paraçurama awatāra – Wişņu menjelma sebagai Rama bersenjatakan kapak (paraçu) dan menggempur golongan ksatria sebagai balas dendam terhadap penghinaan yang dialami oleh ayahnya, seorang brahmana, dari seorang raja (kasta ksatriya). Tampak suatu “reaksi” terhadap revolusi zaman Upanisad.
7)      Rama awatāra – Rama titisan Wişņu ini adalah yang terkenal dari cerita Ramayana. Yang mengancam kerselamatan dunia adalah Rawana atau Dasamukha.
8)      Kŗşna awatāra – Kŗşna ini terkenal dari Mahābhārata, sebagai raja titisan Wişņu yang membantu para Pandawa menuntut keadilan dari para Kurawa.
9)      Buddha awatāra – Wişņu menjelma sebagai putra raja Sododana di Kapilawastu India dengan nama Sidharta Gautama yang berarti telah mencapai kesadaran yang sempurna. Budha Gautama menyebarkan ajaran Budha dengan tujuan untuk menuntun umat manusia mencapai kesadaran, penerangan yang sempurna atau Nirwana..
10)  Kalkya / Kalki awatāra – Keadaan dunia saat ini sangat buruk dan akan tiba saatnya nanti kejahatan itu akan mencapai puncaknya, sehingga dunia terancam kemusnahan. Pada saat itulah maka Wişņu akan menjelma sebagai Kalki dan dengan menunggang kuda putih dan membawa pedang terhunus ia akan menegakkan kembali keadilan dan kesejahteraan di atas dunia ini.


3.Dewa Siwa
Çiwa dalam mitologi Hindu dikenal sebagai dewa tertinggi dan banyak pemujanya. Mitos Çiwa dapat dijumpai dalam beberapa kitab suci agama Hindu, yakni kitab-kitab Brāhmana, Mahābhārata, Purāna, dan Āgama.
Dalam kitab Hindu tertua, Weda Samhita, walaupun nama Çiwa sendiri tidak pernah dicantumkan, tetapi sebenarnya benih-benih perwujudan tokoh Çiwa itu sendiri telah ada, yaitu Rudra.
Dalam Ŗg-Weda salah satu Weda Samhita, disebutkan Rudra sebagai dewa perusak dan tergolong sebagai dewa bawahan. Rudra dikenal sebagai penyebab kematian, dewa penyebab dan penyembuh penyakit, juga dianggap sebagai desa yang menguasai angin topan. Untuk mencegah terjadinya hal-hal buruk itu maka Rudra dipuja secara istimewa dengan doa-doa khusus untuk menenangkan dan menghilangkan kemarahannya.
Namun, sebagai dewa rendahan, walaupun banyak dipuja, Rudra belumlah merupakan dewa tertinggi dan dianggap penting. Pada waktu itu yang dianggap sebagai dewa tertinggi dan dianggap penting adalah Indra. Baru pada kitab Brāhmana, Rudra diberi nama Çiwa dan kedudukannya pun terus meningkat, sehingga menjadi dewa utama.



















BAB IV

PANCA YAMA BRATA

A.  PENGERTIAN  PANCA YAMA BRATA

Pañca Yama Brata adalah lima macam pengendalian diri tingkat pertama untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian jasmani. Suúila harus dilakukan paling awal, karena setelah terbebas dari perbuatan-perbuatan yang kotor akan mampu membuat pikiran dan hati menjadi suci.Dengan kesucian pikiran dan hati terbebas dari beban perbuatan kotor yang dilakukan oleh badan jasmani akan mampu menenangkan pikiran dan pemusatan pikiran pun akan dapat dilakukan untuk melaksanakan kesucian bathin. 

B. BAGIAN-BAGIAN PANCA YAMA BRATA
1. Ahiýsà
Kata Ahiýsà sudah tidak asing lagi didengar dalam masyarakat. Ahiýsà berarti tidak membunuh ataupun menyakiti. Menurut Ahiýsà mengajarkan untuk tidak melakukan perbuatan, perkataan, dan pikiran yang dapat menyakiti orang ataupun makhluk lainnya. Melakukan perbuatan seperti menyakiti sangat dilarang oleh Agama Hindu. Apabila perbuatan, perkataan, ataupun pikiran yang menyakitkan itu dilakukan tentunya akan terus membekas dalam alam pikiran yang akan membuat si pelaku selalu dalam keadaan bingung dan gelisah. Dengan keadaan seperti itu maka suatu ketenangan pikiran tidak akan bisa tercapai.Pembunuhan dapat dilakukan bila tidak didasari oleh dorongan nafsu dan indriya, tetapi didasarkan pada úàstra.Dalam úàstra terdapat pengecualian bahwa pembunuhan itu dapat dilakukan (masih kontroversi), yaitu :
1)      Dewa Pùja : yaitu pembunuhan dibenarkan untuk tujuan yajña atau dipersembahkan kepada Tuhan;
2)      Untuk kepentingan Dharma;
3)      Atithi Pùja : yaitu untuk diberikan kepada tamu;
4)      Menjalankan swadharma kehidupan rumah tangga;
5)      Untuk kesehatan;
6)      Melindungi diri dari segala ancaman pembunuhan;
7)      Tidak dilatar belakangi oleh Úað Ripu.
Tujuh bentuk pengecualian tersebut diuraikan dalam Úila Kramaning Aguron-guron (Wåhaspati Tattwa). Namun sebelum melakukan suatu pembunuhan terlebih dahulu melakukan upacara. Seperti di Bali dikenal yang namanya mapapada yaitu memberikan doa terhadap binatang yang akan dijadikan persembahan. Upacara mapapada dilakukan pada binatang yang berkaki empat seperti babi, sapi dan lain-lain. 

2. Brahmacàri
Brahmacàri merupakan masa menuntut ilmu. Tahapan hidup dengan tahapan belajar dibedakan atas dua masa yaitu :
a)       Brahmacàri saat usia lajang atau belum menikah;
b)       Brahmacàri pada masa berumah tangga.
Pada Brahmacàri yang memiliki pengertian pertama tersebut adalah masa menuntut ataupun masa belajar dari guru dan úàstra agama. Pada masa ini harus benar-benar belajar tanpa menghiraukan kehidupan duniawi, dalam artian bahwa pada masa ini kita harus mampu mengendalikan diri dari segala godaan nafsu dunia agar konsentrasi dalam belajar dapat tercapai.
Pada masa belajar seorang siswa wajib mentaati tata tertib yang diatur di sekolah tempatnya menuntut ilmu. Secara umum tata tertib yang harus ditaati oleh seorang siswa adalah:
a)       Siswa wajib taat dan bhakti kepada guru serta rajin belajar
b)       Siswa wajib berpakaian bersih, rapi dan sopan
c)       Siswa harus membiasakan diri jujur
d)       Siswa harus tidur secukupnya
Dalam masa Brahmacàri yang dikejar adalah Dharma yang merupakan salah satu bagian dari Catur Puruûa Artha dan menjadi tujuan dari agama Hindu serta diharapkan dapat dicapai pada masa ini. Materi pendidikan yang diberikan pada masa ini lebih banyak mengenai disiplin moral dan keterampilan yang langsung dapat diterapkan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari.

3. Satya
Satya berarti setia, kejujuran, dan kebenaran. Satya ini harus dipelajari dan dilaksanakan khususnya bagi seorang calon dikûa agar setelah nantinya menjadi pandita dapat menjadi tauladan atau panutan bagi umatnya. Ajaran tentang kesetiaan, kejujuran dan menjaga suatu kebenaran akan dapat dilakukan setelah terbiasa. Jadi sebelum menjadi seorang pandita maka terlebih dahulu harus membiasakan diri untuk menjalankan ajaran satya.Ajaran Satya ini dapat dibagi menjadi lima yang disebut dengan PañcaSatya

4. Awyàwahàra
Awyàwahàra berarti tidak terikat pada kehidupan duniawi (Tan Awiwada). Dalam kehidupan ini harus mampu mengendalikan Indriya dari obyek duniawi. Karena bila Indriya yang mengendalikan manusia maka ia akan terjerumus dalam kesengsaraan.
Kesengsaraan itu timbul dari dalam diri manusia yang tidak pernah merasa puas terhadap hal-hal yang bersifat duniawi. Ketertarikan terhadap benda duniawi akan membuat manusia selalu tenggelam dalam Awidyà.
Setelah menjadi seorang pandita, maka yang bersangkutan tidak dibenarkan melakukan kegiatan jual beli dengan tendensi keuntungan yang berlipat-lipat, simpan pinjam (åóa åói) dan memperlihatkan kepandaian serta memupuk dosa kecuali menjaga harta warisan, menjaga keutuhan keluarga, dan kesejahteraan istri, anak dan cucu. 

5. Asteya
Asteya berarti tidak mencuri atau menggunakan secara paksa milik orang lain seperti angutil, anumpu, dan abegal. Dalam Úilakrama disebutkan sebagai berikut :
“Apabila seorang wiku berjalan jauh dan dalam perjalanan haus dan lapar lalu mengambil tumbuhan milik orang tanpa bilang hanya sebatas penghilang haus dan lapar maka ia terlepas dari dosa”. Ini berarti bahwa siapapun orangnya khususnya pandita diperbolehkan mengambil milik orang lain ketika ia merasa haus dan lapar dalam perjalanan jauh. Tetapi barang yang diambil hanya sebatas untuk menghilangkan rasa lapar dan dahaga. Tentu tidak dibenarkan barang yang diambil melebihi keperluan apalagi sampai dijual.
Segala perbuatan hendaknya tidak didasari oleh ûað ripu. Jadi segala keinginan untuk mengambil ataupun memperkosa milik orang lain yang didasari oleh ûað ripu harus dikendalikan. 
















BAB V
PANCA NYAMA BRATA

A. PENGERTIAN PANCA NYAMA BRATA
Pengertian Panca Nyama Brata mempunyai arti lima macam pengendalian diri dalam tingkat mental, untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian bathin. Panca Nyama Brata adalah untuk mengendalikan semua akibat-akibat buruk yang ditimbulkan oleh mental dan pikiran.

B.  BAGIAN – BAGIAN PANCA NYAMA BRATA
1)      Akroda
2)      Guru Susrusa
3)      Sauca
4)      Aharalagawa
5)      Apramada




C.  PENJELASAN MASING-MASING PANCA NYAMA BRATA
1.  Akroda
Akroda artinya tidak marah, atau tidak mempunyai sifat marah. Dengan kata lain mampu mengendalikan sifat – sifat marah.
Salah satu dari sifat – sifat marah adalah mudah tersinggung. Sifat inilah yang harus dikendalikan sehingga manusia tidak mudah marah. Dengan mampunya manusia menahan sifat marah maka manusia akan mempunyai jiwa yang sabar.
Kesabaran adalah sifat yang mulia. Orang sabar tidak mudah tersinggung, sehingga akan disenangi oleh teman – teman. Orang yang diajak bicara akan merasa senang. Ia akan selalu tenang dalam menghadapi segala masalah. Pekerjaan dikerjakan dengan rasa tenang sehingga akan menghasilkan yang baik. Seperti apa yang diuraikan dalam “kitab Sarasamuccaya” sloka 94, sbb : “ Kesabaran hati merupakan kekayaan yang sangat utama, itu sebagai emas dan permata. Orang yang mampu mengendalikan nafsu ( kemarahan), tidak ada yang melebihi kemuliaan”.Oleh karena itu kemarahan harus dikendalikan. Dengan tumbuhnya kemampuan mengendalikan kemarahan menyebabkan tumbuhnya kebijaksanaan pada orang itu.
Didalam Weda dikatakan bahwa : Orang yang tidak pemarah dan sabar adalah bersifat pemaaf. Orang yang sabar akan selalu dapat berpikir baik. Tidak terpengaruh oleh nafsu dan perasaan hati. Ia akan berbuat baik oleh karena itu orang sabar luhur budinya, banyak pahalanya.

2.  Guru Susrusa.
Guru Susrusa artinya hormat dan bakti terhadap guru. Guru Susrusa juga berarti mendengarkan atau menaruh perhatian terhadap ajaran – ajaran dan nasehat guru.
Siswa yang baik akan selalu berbakti dan memperhatikan sikap hormat terhadap gurunya. Mempelajarai apa yang diajarkan. Dalam hal Guru, biasanya ada empat macam guru yang disebut Catur Guru : yaitu Guru Rupaka yaitu orang tua, Guru pengajian yaitu Bapak dan Ibu Guru disekolah, Guru Wisesa adalah pemerintah, dan yang stunya Guru Swadyaya yaitu Tuha ( Sang Hyang Widhi )
Anak yang hormat dan bakti terhadap Guru diberikan gelar anak yang suputra, sedang anak yang menentang terhadap Guru di sebut Alpaka Guru, hukumannya sangat berat dalam alam Neraka nantinya. Sedang anak yang Suputra akan mendapatkan tempat yang baik di sorga maupun di masyarakat, karena sangat berguna bagi nusa dan bangsa. Marilah kita kenali satu persatu dari Catur Guru yang harus kita hormati.
1.Bagian-bagian Catur Guru
Guru Rupaka
Guru Rupaka sering pula disebut “ Guru Reka “ yaitu orang yang sangat besar jasanya, orang yang menyebabkan kita lahir ke dunia. Betapa besar pengorbanan dan tanggung jawabnya terhadap anak. Dalam kitab “ Kakawin Nitisastra “ disebutkan ada lima jasa orang tua terhadap anaknya, sebagai usaha agar anaknya tumbuh sebagai suputra. Kelima jasa orang tua itu disebut “ Panca Widha yaitu
.
2.Guru Pengajian
Adalah Bapak dan Ibu yang memberikan ilmu pengetahuan dan mendidik di sekolah.
Guru pengajian yang menyebabkan kita menjadi pandai dan berguna bagi nusa dan bangsa. Kita bisa membaca dan menulis berkat jasanya. Maka hormati beliau dengan cara yang tekun dan mentaati tata tertib sekolah.
3.Guru Wisesa
Adalah pemerintah sebagai anggota masyarakat kita wajib menaati segala peraturan yang mengatur tertib bermasyarakat. Peraturan – peraturan itu yang mengatur agar hidup bermasyarakat menjadi aman, tentram dan harmonis.
Bangsa yang besar dan maju adalah bangsa yang selalu taat dan patuh terhadap peraturan dan perundang – undangan yang berlaku. Yang bertugas melaksanakan peraturan itu adalah pemerintah. Betapa berat tugas pemerintah menjaga keamanan dan ketertiban itu. Oleh karena itu, kita patut mentaati peraturan yang berlaku.
4.Guru Swadyaya
Sang Hyang Widhi disebut Guru Swadyaya. Beliau pencipta, pemelihara dunia beserta isinya. Semuanya ini karena Sang Hyang Widhi. Oleh karena itu, harus sujud bakti kepadaNya.

C.  Sauca
Sauca berasal dari kata “ SUC “ yang artinya bersih, murni atau suci. Jadi yang dimaksud Sauca adalah Kesucian dan kemurnian lahir batin.
Dalam silakrama disebutkan sebagai berikut :
“ Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, roh dibersihkan dengan ilmu dan tapa, akal dibersihkan dengan kebijaksanaan. “
Banyak yang dapat kita usahakan untuk mencapai kesucian lahir maupun batin. Kesucian lahir ( jasmani ) dapat kita capai dengan selalu membiasakan hidup bersih., misalnya mandi yang teratur, membuang sampah pada tempatnya dsb. Sedangkan kesucian batin ( rohani ) dapat dilakukan dengan rajin sembahyang, menghindari pikiran dari hal – hal negatif.
Dengan jalan mengusahakan kesucian lahir batin kita akan mudah mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Widhi. Kebersihan jasmani atau lahiriah akan mendatangkan kesehatan, maka ada istilah “ Kebersihan Pangkal Kesehatan “. Adanya kesehatan inilah kita akan banyak berbuat baik.Dengan kesehatan kita akan bisa belajar dengan baik untuk mencapai cita – citanya. Dengan kesehatan jasmani kita juga mampu melaksanakan Tapa, Brata, Yoga dan Semadi, untuk mendapatkan kesucian batin.

D.Ahara Lagawa
Ahara Lagawa brasal dari kata Ahara artinya makan, dan Lagawa artinya ringan. Jadi Ahara Lagawa artinya makan yang serba ringan dan tidak semau – maunya. Makan yang sesuai dengan kemampuan tubuh. Ahara Lagawa berarti juga mengatur cara dan makanan yang sebaik – baiknya. Lawan dari Ahara Lagawa adalah kerakusan. Kerakusan akan menghalangi dan merintangi kesucian batin.
Disamping makan berlebihan menyebabkan sakit. Agar badan menjadi sehat, makanlah makanan yang banyak mengandung gizi. Orang yang makan teratur dan bergizi badannya menjadi sehat dan pikirannya menjadi segar dan cerdas. Sebaliknya orang yang makan  berlebihan, tidak teratur dan suka minum minuman keras seperti arak, bier dan sejenisnya, maka badannya menjadi sakit dan sarafnya terganggu. Serta pikiranpun menjadi kacau.
Sehingga dalam kitab Bhagawad Gita Bab XVII, 8 disebutkan jenis – jenis makanan yang patut dimakanagar menjadi orang yang bijaksana dan memiliki sifat luhur ( Satwika )
Didalam kitab Silakrama diuraikan panjang lebar mengenai aturan – aturan makan dan minum. Disebutkan pula binatang yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan.
Demikian pentingnya pengendalian dalam hal makan, maka ada salah satu cara pengendaliannya yaitu dengan melakukan “ Upawasa “ artinya tidak makan dan minum, yang biasanya dilakukan pada waktu Hari Raya NYepi.
Makanan yang baik, adalah makanan yang sudah dipersembahkan, makan yang tidak menyebabkan diri sakit, makanan yang mengandung protein, Makan makanan yang serba ringan sebenarnya untuk meringankan beban pekerjaan pencernaan untuk mempermudah mendapat ketentraman perasaan dan kesucian batin.

E.Apramada
Apramada artinya tidak bersifat ingkar atau mengabaikan kewajiban. Apramada ialah tidak segan – segan untuk mempergunakan hidup itu sebagai Sadana / jalan guna melakukan Yoga dan Samadi. Seorang siswa harus tidak segan – segan untuk menurut ajaran dan nasehat guru. Tidak boleh segan mengucapkan berkali – kali menghafal dan mengulangi pelajaran yang diberikan oleh guru. Tidak boleh segan – segan bertanya bila ada suatu persoalan yang belum jelas. Dengan berusaha melaksanakan kewajiban sendiri ( Swadharma ) dan menghormati kewajiban orang lain ( para dharma ), maka keharmonisan akan dapat dicapai, yang pada akhirnya kebahagiaan juga akan dapat dicapai.




BAB VI
YADNYA

A.    TRI RNA
1.      Pengertian Tri Rna
Tri Rna berasal dari kata “Tri” dan “Rna”. Tri artinya tiga dan Rna artinya utang. Jadi, Tri Rna artinya, tiga utang yang dimiliki oleh manusia dan harus dibayar dengan Yadnya.
Manusia adalah makhlik sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia sebagai anggota masyarakat selalu hidup  berdampingan dengan manusia lainnya. Mereka saling memerlukan dan saling membutuhkan satu sama lain dengan hidup bersama dan berkelompok mereka saling keterkaitan yang disebakan oleh adanya rasa kasih  sayang dan tolong – menolong.
     
2.      Pembagian Tri Rna
1)      Dewa Rna adalah hutang yang dimiliki oleh manusia kehadapan Ida Sang Hyang Widhi atas jasa-Nya menciptakan alam beserta isinya.
2)      Pitra Rna adalah hutang yang kita miliki kehadapan para leluhur atau orang tua atas jasanya melahirkan, memelihara, dan membesarkan kita di dunia.
3)      Rsi Rna adalah hutang yang dimiliki oleh manusia kehadapan para Rsi (orang suci) atas jasanya mengajarkan ilmu pengetahuan suci kepada kita.
3.      Hubungan Tri Rna dengan Panca Yadnya
a.       Dewa Rna, yaitu hutang kehadapan Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan) di tebus dengan melaksanakan dua jenis Yadnya, yaitu
1)        Dewa Yadnya adalah Yadnya yang ditujukan kehadapan Tuhan beserta manifestasinya, yaitu para Dewa. Dewa berasal dari akar kata “Div” (Sanskerta) yang artinya sinar, atau cahaya. Dewa itu sendiri tidaklah sama dengan Tuhan melainkan hanyalah ciptaan-Nya.
2)        Bhuta Yadnya “Bhu” berarti adalah Yadnya kepada Bhuta Kala. Bhuta berasal dari kata “energi” yang ada (unsur alam semesta) “kala” berarti “energi” kekuatan. Jadi, Bhuta Kalaberarti unsur-unsur alam dengan kekuatan yang dimiliki.
Jadi, yang termasuk bhuta adalah unsur-unsur alam serial makhluk hidup ciptaan Tuhan, seperti tanah, air, api, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan sebagainya. Secara kenyataan unsur-unsur serta ciptaan Tuhan itulah yang membantu kehidupan di dunia ini dan sebagai tanda terima kasih, diselenggarakan pula Yadnya kepada-Nya. Dengan demikian, Bhuta Yadnya adalah Yadnya kepada unsur-unsur alam serta semua ciptaan Tuhan. Dalam hal ini termasuk: manusia, pitra, rsi, dan dewa, karena telah ditetapkan Yadnya tersendiri untuk ciptaan-Nya itu. Tetapi kalau diperhatikan lebih lanjut, unsur-unsur alam serta ciptaan Tuhan itu tidak selalu menolong kehidupan kehidupan manusia kadang-kadang menimbulkan bencana, misalnya air bah, api mengamuk tanah bergoyang (gempa), dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan atau energy serta perbuatan dari ciptaan-Nya itu tidak tetap.
b.      Pitra Rna adalah rasa berhutang kepada leluhur/orang tua sebagai wujud dari penebusan Pitra Rnaini dapat dilakukan dengan melaksanakan dua Yadnya, yaitu:
1)      Pitra Yadnya, adalah Yadnya yang ditujukan kepada para leluhur atau orang tua sejak meninggal sampai mendapat tempat yang layak di alam kedewataan. Pitra (pitara) berasal dari kata Pitriyang artinya, leluhur. Melaksanakan Yadnya dalam hal ini bertujuan untuk mengembalikan roh leluhur kepada asalnya, yaitu Sang Pencipta. Yang mempunyai arti hampir sama dengan pitara adalah Preta, yaitu roh leluhur yang masih dekat dengan manusia, sehingga sering mengganggu manusia. Pelaksanaan Pitra Yadnya di Bali ada dua tahapan, yaitu Ngaben adalah upacara yang bertujuan untuk mengembalikan jasad manusia kepada asalnya, yaitu Sang Panca Maa Bhuta. Yang paling banyak dilakukan adalah dengan cara membakar jenasahnya, karena hal ini dianggap paling cepat akan sampai pada tujuannya. Tahap yang kedua adalah upacara Atma Wedana yang juga disebut dengan Ngerort (Ngeroras). Upacara ini hanya boleh dilaksanakan setela pengabenan: selesai dan dapat dilakukan beberapa kali sesuai dengan tingkatannya.
2)      Manusa Yadnya, yaitu Yadnya yang dilakukan kepada seseorang saja mulai dalam kandungan sampai meninggal. Konsepsi agama Hindu tentang kehidupan adalah percaya dengan adanya reinkarnasi, yaitu roh leluhur akan menitis kembali pada orang-orang tertentu. Selanjutnya pula disadari pula bahwa tujuan menjelma kembali adalah untuk memperbaharui kesalahannya (dosa) yang terdaulu. Yadnya yang dilaksanakan adalah Yadnya yang bersifat jasmani dan rohani sehingga betul-betul dapat meningkatkan kualitas hidupnya.
3)       Rsi Rna adalah hutang yang kita miliki kehadapan para Rsi atau orang suci. Hutang ini akan dapat ditebus dengan melaksanakan Rsi Yadnya. Rsi adalah orang-orang suci yang berjasa dalam menerima wahyu Tuhan atau ajaran suci Tuhan untuk disampaikan pada para pengikutnya. Dalam kehidupan beragama dewasa ini, Rsi Yadnya tidaklah semata-mata ditujukan kepada para Rsi zaman dulu saja, akan tetapi juga kepada Beliau yang berjasa dalam mengajarkan ilmu pengetahuan suci kepada kita semua. Wujud nyata bagi kita melaksanakan Rsi Yadnya adalah dengan jalan mengamalkan ajarannya dalam setiap tingkah laku di dunia ini. Di samping itu, beryadnya kepada para Pedanda dan Pemangku yang memimpin pelaksanaan suatu upacara adalah juga melaksanakan Yadnya. Semua Yadnya yang dilaksanakan pada akhirnya yang menerima serta memberkati adalah Ida Sang Hyang Widhi.



B.     PANCA YADNYA
1.      PENGERTIAN YADNYA
Kata Yadnya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari akar kata “yaj” yang artinya memuja, mempersembahkan, atau korban. Kemudian penulisannya diindonesiakan dari Yajna menjadi Yadnya. Dalam kitab Bhagawadgita dijelaskan Yadnya artinya suatu perbuatan yang dilakukan dengan penuh keiklasan dan kesadaran untuk melaksanakan persembahan kepada Tuhan. Yadnya berarti upacara persembahan korban suci. Pemujaan yang dilakukan dengan mempergunakan korban suci sudah barang tentu memerlukan dukungan sikap dan mental yang suci juga.

2.      TUJUAN YADNYA
Bila direnungkan tujuan diadakannya sebuah Yadnya yaitu untuk membalas Yadnya yang dahulu dilakukan oleh Ida Sang Hyang Widhi ketika menciptakan alam semesta beserta isinya. Hal tersebut dapat kita lihat dari sloka dibawah ini:

“sahayajnah prajah srishtva, paro vacha pajapatih,
Anema prasavish dhvam, esha yostvisha kamaduk”
Artinya: Pada zaman dulu kala Praja Pati (Tuhan Yang Maha Esa) menciptakan manusia dengan Yadnya dan bersabda. Dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamanduk (memenuhi) dari keinginanmu. Dari sloka di atas dapat kita lihat secara jelas, bahwa kita melaksanakan Yadnya atas dasar Tuhan mengawali menciptakan dunia besrta isinya berdasarkan Yadnuhan itu diteruskan agar kehidupan di dunia ini berlanjut terus dengan saling beryadnya.
Bukankah akibat dari Tuhan berbuat Yadnya itu menimbulkan Rnam (hutang). Kemudian agar tercipta hokum keseimbangan, maka rnam itu harus dibayar dengan Yadnya (Tri Rna). Tri Rna ini dalam kehidupan sehari-hari dapat dibayar dengan melaksanakan Panca Yadnya. Dimana Dewa Rna dibayar dengan Dewa Yadnya dan dibayar dengan Bhuta Yadnya, kemudian Rsi Rna dibayar dengan Rsi Yadnya, dan yang terakhir yaitu Pitra Rna dibayar dengan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya. Memang konsep Agama Hindu adalah mewujudkan keseimbangan. Dengan terwujudnya keseimbangan berarti terwujud pula keharmonisan hidup yang didambakan oleh setiap orang di dunia ini. Untuk terwujudnya keseimbangan tersebut dalam Umat Hindu diajarkan Tri Hita Karana yaitu tiga factor yang menyebabkan terwujudnya suatu kebahagiaan.
Berkaitan dengan itu, dalam Bhagawadgita III.2 menyebutkan:
“ishtan bhogan hivodeva, donsyante yajna bhavitah,
tair dattan apradayabho, yobhunkte stena eca sah”
Artinya: 
Dipelihara oleh Yadnya Para Dewa, akan memberikan kamu kesenangan yang kamu inginkan. Ia yang menikmati pemberian ini, tanpa memberikan balasan kepadanya adalah pencuri.
Selanjutnya seloka Bhagawadgita III.13 menyebutkan:
“yajna sisyah sinah santo, nucyanta sarwa kilbisaih,
bhujate tuagham papa, ye pacauty atmakatanat”
Artinya:
Orang yang baik, maka apa yang tersisa dari Yadnya, mereka itu terlepas dari segala dosa, akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan kepentingan sendiri, mereka itu adalah makan dosanya sendiri. Jadi dengan petikan sloka di atas dapat ditegaskan bahwa Yadnya itu bertujuan untuk melangsungkan kehidupan yang berkesinambungan yaitu dengan cara:  Membayar Rna (hutang) untuk mencapai kesempurnaan hidup.  Melebur dosa untuk mencapai kebebasan yang sempurna.

3.      FUNGSI DAN MAKNA YADNYA
Jika kita lihat dari tujuan pelaksanaan Yadnya yang dijelaskan diatas maka secara umum fungsi daripada Yadnya adalah sebagai sarana untuk mengembangkan serta memelihara kehidupan agar terwujud kehidupan yang sejahtra dan bahagia atau kelepasan yakni menyatu dengan Sang Pencipta.
Berdasarkan uraian diatas dapat dijabarkan fungsi dari pelaksanaan Yadnya, yaitu sebagai berikut:
1)        Sarana untuk mengamalkan Weda
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgu54Aqno_Mt-kr7lSe0bHztVcyeOXWDsau-xOaoaFa5ZrIy0KYVKAP9XHZ2W8Sg1WQlHRyNhBJE8OAi7zyb0rhfC52ASCOt96GcjvpHxs3oywwMuEeWMKYIGTMEUBURIqpVGunxjOVha0/s320/oton8.jpg
Yadnya adalah sarana untuk mengamalkan Weda yang dilukiskan dalam bentuk symbol-simbol atau niyasa. Yang kemudian symbol tersebut menjadi realisasi dari ajaran Agama Hindu.

2)      Sarana untuk meningkatkan kualitas diri
Setiap kelahiran manusia selalu disertai oleh karma wasana. Demikian pula setiap kelahiran bertujuan untuk meningkatkan kualitas jiwatman sehingga tujuan tertinggi yaitu bersatunya atman dengan brahman ( brahman atman aikyam ) dapat tercapai. Dalam upaya meningkatkan kualitas diri, umat Hindu selalu diajarkan untuk buatan baik. Perbuatan baik yang paling utama adalah melalui Yadnya. Dengan demikian setiap yadnya yang kita lakukan hasilnya adalah terjadinya peningkatan kualitas jiwatman.
3)      Sebagai sarana penyucian
Dengan sebuah Yadnya sesuatu hal bisa disucikan seperti diadakannya Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya yaitu pada bagian-bagian tertentu mengandung makna dan tujuan untuk penyucian atau pembersihan.
4)      Sarana untuk terhubung Kepada Ida Sang Hyang Widhi
Yadnya merupakan sarana yang dapat digunakan untuk mengadakan hubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya, seperti yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
5)      Sarana untuk mengungkapkan rasa terima kasih
Dengan sebuah yadnya seseorang mampu mengungkapkan rasa syukur dan ucapan terimakasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sesame manusia, maupun kepada alam, seperti yang sudah biasa dilakukan dalam penerapan Panca Yadnya


4.      PANCA YADNYA
    Panca Yadnya adalah lima jenis karya suci yang diselenggarakan oleh umat Hindu di dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup. Adapun Panca Yadnya atau Panca Maha Yadnya tersebut terdiri dari:
1.    Dewa Yadnya
       Ialah suatu korban suci/ persembahan suci kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan seluruh manifestasi- Nya yang terdiri dari Dewa Brahma selaku Maha Pencipta, Dewa Wisnu selaku Maha Pemelihara dan Dewa Siwa selaku Maha Pralina (pengembali kepada asalnya) dengan mengadakan serta melaksanakan persembahyangan Tri Sandhya (bersembahyang tiga kali dalam sehari) serta Muspa (kebaktian dan pemujaan di tempat- tempat suci). Korban suci tersebut dilaksanakan pada hari- hari suci, hari peringatan (Rerahinan), hari ulang tahun (Pawedalan) ataupun hari- hari raya lainnya seperti: Hari Raya Galungan dan Kuningan, Hari Raya Saraswati, Hari Raya Nyepi dan lain- lain.
2.    Pitra Yadnya
       lalah suatu korban suci/ persembahan suci yang ditujukan kepada Roh- roh suci dan Leluhur (pitra) dengan menghormati dan mengenang jasanya dengan menyelenggarakan upacara Jenasah (Sawa Wedana) sejak tahap permulaan sampai tahap terakhir yang disebut Atma Wedana.Adapun tujuan dari pelaksanaan Pitra Yadnya ini adalah demi pengabdian dan bakti yang tulus ikhlas, mengangkat serta menyempurnakan kedudukan arwah leluhur di alam surga. Memperhatikan kepentingan orang tua dengan jalan mewujudkan rasa bakti, memberikan sesuatu yang baik dan layak, menghormati serta merawat hidup di harituanya juga termasuk pelaksanaan Yadnya. Hal tersebut dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia telah berhutang kepada orangtuanya (leluhur) seperti:
1.                       Kita berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit.
2.                       Kita berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.
3.                       Kita berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha.
3.    Manusa Yadnya.
     Adalah suatu korban suci/ pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup manusia.
Di dalam pelaksanaannya dapat berupa Upacara Yadnya ataupun selamatan, di antaranya ialah:
1.    Upacara selamatan (Jatasamskara/ Nyambutin) guna menyambut bayi yang baru lahir.
2.    Upacara selamatan (nelubulanin) untuk bayi (anak) yang baru berumur 3 bulan (105 hari).
3.    Upacara selamatan setelah anak berumur 6 bulan (oton/ weton/ 210 hari).
4.    Upacara perkawinan (Wiwaha) yang disebut dengan istilah Abyakala/ Citra Wiwaha/ Widhi-Widhana.
Di dalam menyelenggarakan segala usaha serta kegiatan- kegiatan spiritual tersebut masih ada lagi kegiatan dalam bentuk yang lebih nyata demi kemajuan dan kebahagiaan hidup si anak di dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan lain- lain guna persiapan menempuh kehidupan bermasyarakat. Juga usaha di dalam memberikan pertolongan dan menghormati sesama manusia mulai dari tata cara menerima tamu (athiti krama), memberikan pertolongan kepada sesama yang sedang menderita (Maitri) yang diselenggarakan dengan tulus ikhlas adalah termasuk Manusa Yadnya.
4.    Resi Yadnya.
       Adalah suatu Upacara Yadnya berupa karya suci keagamaan yang ditujukan kepada para Maha Resi, orang- orang suci, Resi, Pinandita, Guru yang di dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam bentuk:
1.    Penobatan calon sulinggih menjadi sulinggih yang disebut Upacara Diksa.
2.    Membangun tempat- tempat pemujaan untuk Sulinggih.
3.    Menghaturkan/ memberikan punia pada saat- saat tertentu kepada Sulinggih.
4.    Mentaati, menghayati, dan mengamalkan ajaran- ajaran para Sulinggih.
5.    Membantu pendidikan agama di dalam menggiatkan pendidikan budi pekerti luhur, membina, dan mengembangkan ajaran agama.
5.              Bhuta Yadnya.
        Adalah suatu korban suci/ pengorbanan suci kepada sarwa bhuta yaitu makhluk- makhluk rendahan, baik yang terlihat (sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala), hewan (binatang), tumbuh- tumbuhan, dan berbagai jenis makhluk lain yang merupakan ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa. Adapun pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya ini dapat berupa: Upacara Yadnya (korban suci) yang ditujukan kepada makhluk yang kelihatan/ alam semesta, yang disebut dengan istilah Mecaru atau Tawur Agung, dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan, kelestarian antara jagat raya ini dengan diri kita yaitu keseimbangan antara makrokosmos dengan mikrokosmos. Di dalam pelaksanaan yadnya biasanya seluruh unsur- unsur Panca Yadnya telah tercakup di dalamnya, sedangkan penonjolannya tergantung yadnya mana yang diutamakan.

 
PENUTUP
Agama hindu adalah suatu kepercayaan yang didasarkan pada kitab suci yang disebut Weda. Weda diyakini sebagai pengetahuan yang tanpa awal tanpa akhir dan juga dipercayai keluar dari nafas Tuhan bersamaan dengan terciptanya dunia ini. Karena sifat ajarannya yng kekal abadi tanpa awal tanpa akhir maka ia disebut sanatana dharma. Apabila membahas tentang Agama Hindu, kita harus mengetahui sejarah tempat munculnya agama tersebut. India adalah sebuah Negara yang penuh dengan rahasia dan cerita dongeng, masyarakatnya berbangsa-bangsa dan berkasta-kasta, malah ada masyarakat dalam masyarakat, serta sungguh banyak ditemui aga dapat menerapkan dikalangan masyarakat-agama. Bahasa dan warna kulit pun bermacam-macam
Setelah membaca buku ini, dapat disarankan sebagai berikut
1.    Bagi Mahasiswa agar mengetahui apa saja yng dldalam agama hindu, untuk mengetahui upacara-upacara yang ada di dalam agama hindu dan menerapkan dikalangan masyarakat
2.    Bagi masyarakat, dapat mengrti bagian-bagian atau sifat-sifat yadnya dan mengetahui secara dalam tentang ajaran agama Hindu


DAFTAR PUSTAKA

Thalhas, T. H. Pengantar Studi Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: Galura Pase, 2006. 
Honig Jr, A. G. Ilmu Agama. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1997. 
Shalaby, Ahmad. Perbandingan Agama; Agama-Agama Besar di India; Hindu-Jaina-Budha. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001. 
Bleeker, C. J. Pertemuan Agama-Agama Dunia. Jakarta: Sumur Bandung, 1963. 










0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda